Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menceritakan, krisis pada 1 Juli 1997, Pemerintah Thailand mendevaluasi mata uang Bath. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bank Indonesia, dengan kondisi miss match yang kurang lebih sama dengan Thailand, melebarkan pita intervensi (intervention band) sehingga Rupiah lebih fleksibel. Pemerintah juga menaikkan suku bunga.
Secara objektif miss match itu menyebabkan tekanan berat terhadap kurs Rupiah, yakni cenderung melemah. Sektor perbankan juga bermasalah karena kualitas kredit buruk, sehingga NPL atau kredit bermasalah meningkat.
Akibatnya pada 1 November 1997, sebanyak 16 bank ditutup. Gelombang penutupan bank berikutnya terjadi pada Maret 1998. Akan tetapi, kebijakan penutupan bank gagal menaikkan kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas pemerintah dalam menangani krisis.
Langkah tersebut justru menimbulkan kepanikan yang memicu nasabah bank melakukan penarikan dana secara besar-besaran atau rush. Kejadian itu memaksa pemerintah memberikan penjaminan 100 persen dana nasabah di bank pada 27 Januari 1998.