JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mengatakan tidak ada satu pun lembaga yang mampu melindungi konsumen dan nasabah perbankan. Karena itu, perlindungan hak-hak konsumen atau nasabah perbankan yang terabaikan dan tak memiliki kepastian hukum. Konsumen dan nasabah pun berada di ujung tanduk.
"Memang seperti itu masalahnya. Perangkat undang-undang soal perlindungan konsumen dan nasabah harus disempurnakan. Seperti di KUHAP dan KUHP belum secara detail membahas perlindungan konsumen dan nasabah," ujarnya dalam keterangan, Jakarta, Rabu (25/11/2015).
Dia pun mencemaskan sejumlah kasus yang terkait perlindungan nasabah tidak akan pernah tuntas. Hendrawan menyontohkan dalam kasus kerugian para nasabah yang menanamkan dana reksadana PT Antaboga Delta Sekuritas di Bank Mutiara. Serta kasus deposito PT Elnusa senilai Rp111 miliar di Bank Mega.
"Karena panjangnya proses hukum, maka kasus ini berlarut-larut. Padahal seharusnya sudah harus dibayarkan kerugiannya. Tapi karena alasan masih dalam ranah hukum tidak juga mau dibayarkan. Dalam kasus Antaboga, bahkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) Bank Mutiara sudah ditolak Mahakamah Agung (MA), tapi masih ada upaya lain dengan alasan UU Perseroan terbatas. Di sini lah masalah sangat kompleks, tidak ada UU yang melindungi kepastian nasabah," katanya.
Dia pun berpendapat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak bisa menginstruksikan bank-bank yang bermasalah tersebut untuk segera mengganti kerugian. Sebab, kasus ini masih dalam ranah proses hukum. Sedangkan, keputusan OJK harus diambil jika sudah final dan tidak ada upaya hukum apa pun.
Politisi PDI Perjuangan ini melanjutkan, pihaknya dalam hal ini Komisi XI DPR sedang berupaya melakukan efisiensi hukum. Sehingga, berkeadilan dan mampu melindungi nasabah. "Memang saat ini tidak ada satu lembaga pun yang mampu melindungi kepastian konsumen dan nasabah," imbuhnya.
Pendapat tersebut dibantah Direktur Centre for Budget Analisys (CBA) Uchok Sky Khadafi. Menurutnya, dalam kasus hilangnya deposito Elnusa senilai Rp 111 miliar milik PT Elnusa di Bank Mega, OJK jangan cuci tangan. Sebab, lembaga tertinggi yang mampu melindungi nasabah di Indonesia satu-satunya adalah OJK.
"Itu domainnya OJK. Kalau OJK lepas tanggung jawab ke mana konsumen dan nasabah meminta perlindungan? Kalau tidak bisa melindungi nasabah, lebih baik dibubarkan saja," tegasnya.
Uchok menilai, seharusnya OJK memiliki kewenangan menyelediki dan memutuskan dalam sebuah perkara kasus yang merugikan nasabah. Sebab itu, ia tak sependapat dengan pernyataan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon pekan lalu, yang menyatakan pihaknya tidak dalam kapasitas menginstruksikan, karena kasus PT Elnusa dan Bank Mega sudah masuk dalam ranah 'proses hukum.
Ditambahkan Uchok, selama Mahkamah Agung sudah mengeluarkan keputusan kasasi, seharusnya OJK bisa menekan Bank Mega agar segera mengganti kerugian PT Elnusa. "Dulu kewenangan ini ada di Bank Indonesia (BI). Sekarang semuanya sudah diberikan OJK. Seharusnya ada keterikatan antara BI dan OJK karena kewenangan yang sama," tuturnya.
Hal senada juga dikatakan pengamat ekonomi Yanuar Rizky. Seharusnya, apabila sudah ada keputusan hukum tetap atau kasasi harus segera dilaksanakan keputusan tersebut. Dia mengatakan PK yang diajukan Bank Mega tidak bisa menghalangi putusan kasasi MA yang memenangkan yang memenangkan PT Elnusa. Itu berarti Bank Mega seharusnya sudah bisa mencairkan escrow account PT Elnusa sebagai nasabahnya. "Pada prinsipnya keputusan hukum tetap itu harus dijalankan oleh pihak yang kalah," ucapnya.
(Fakhri Rezy)