YOGYAKARTA – Pemkot Yogyakarta dan Sleman diharapkan memiliki mekanisme dispute resolution (penyelesaian masalah) untuk mengatur proses pembuatan izin pembangun hotel maupun apartemen.
Selama ini, Ombudsman RI (ORI) DIY menemukan banyak izin yang bermasalah. Permasalahan yang paling utama terkait pengurusan izin pembangunan, di antaranya terkait keberadaan warga yang berdampak langsung jarang dilibatkan.
“Harus ada mekanisme dispute resolution. Perda harus mengatur itu. Di Jawa Timur sudah ada,” kata Kepala ORI DIY, Budhi Masturi.
Menurutnya, proses pengajuan izin pembangunan hotel mau pun apartemen dengan me libatkan warga terdampak saat ini masih minim. Akibatnya, mereka pun melaporkan ke instansinya untuk menyelesaikan sengketa tersebut. “Proses pelibatan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mereka (warga) dilewati pelibatan itu,” tuturnya.
Meski sebagian warga terdampak tidak setuju, proses pem bangunan pun terus berjalan. Bahkan, tidak sedikit proses pembangunan dengan pengamanan aparat dan pihak terkait. Untuk itulah, harus ada suatu antisipasi sebelum terulang permasalahannya. “Pemerintah mendatangi warga, nanti berembuk. Apakah pembangunan itu masuk akal tidak,” ujarnya.
Selama 2015, lanjutnya, banyak laporan perizinan yang masuk ke pihaknya. Terutama warga yang berasal dari Kabupaten Sleman. “Karena Yogyakarta mungkin sudah penuh. Jadi lebih banyak laporan dari Sleman,” ucapnya.
Dalam proses penyelesaian laporan tersebut, pihaknya pun melakukan konfirmasi ke instansi terkait. Apakah sesuai prosedur atau tidak. “Secara hukum memenuhi persyaratan atau tidak. Jika belum, maka bisa dibatalkan (pembangunannya),” katanya.
Asisten ORI DIY Nurkholis menambahkan, tak hanya izin pembangunan hotel maupun apartemen saja. Namun, tower suatu provider pun kadang bermasalah.
“Warga yang berada di ring satu, tidak setuju. Namun, di ring dua atau tiga biasanya yang dimintai persetujuan,” ucapnya.
Kepala Bidang Pelayanan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Setiono mengakui, penolakan dari warga di sekitar lokasi turut menjadi salah satu yang mempersulit investor yang akan mem bangun hotel maupun apar temen.
“Jika warga di sekitar nya tidak setuju, kami juga tidak akan memaksakan diri mengeluarkan izinnya. Malah karena masalah ini ada investor yang memilih tidak melanjutkan mengurus izin. Padahal investasi yang dikeluarkan jelas sudah cukup besar,” katanya.
Menurutnya, beberapa kelengkapan syarat teknis yang ma sih menjadi ganjalan keluarnya izin pembangunan hotel baru adalah analisis mengenai dam pak lingkungan (Amdal). Proses Amdal membutuhkan wak tu yang cukup lama lebih dari enam bulan.
“Sekarang masih banyak yang melakukan sidang di Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta untuk memperoleh Amdal.
Investor juga ha rus memenuhi syarat Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) yang juga butuh waktu,” katanya.
Setiono mengatakan, pihaknya tidak mempersulit proses perizinan hotel baru yang diajukan sebelum moratorium diberlakukan tersebut. Dia memastikan izin akan keluar setelah seluruh persyaratan di penuhi.
Dia menjelaskan, sampai saat ini pihaknya belum bisa memastikan apakah akan menetapkan batas waktu bagi pemohon untuk melengkapi syaratsyarat yang dibutuhkan. Total permohonan izin hotel baru sebelum moratorium yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 sebanyak 104.
Izin untuk 21 di antaranya masih belum keluar. Moratorium sendiri berlaku selama tiga tahun, yaitu hingga 31 De sember 2016. Kepala Bidang Data dan Sistem Informasi Dinas Per izinan Kota Yogyakarta Dodit Sugeg Murdowo mengatakan, IMB memiliki masa berlaku enam bulan.
Jika dalam waktu enam bulan sejak diterbitkan investor tidak melakukan pembangunan, maka IMB harus diperpanjang. “Perpanjangan IMB maksimal dilakukan dua kali atau satu tahun, dan setelahnya bisa dicabut kalau masih belum ada pembangunan,” katanya.
(Rizkie Fauzian)