PEKANBARU - Aktivis lingkungan meminta pihak terkait menunda pembangunan pabrik kertas PT OKI Pulp and Paper Mills, anak usaha Asia Pulp Paper di Sumatera Selatan (Sumsel) karena larangan baru pemerintah terkait penanaman kembali lahan terbakar tahun lalu.
"Kalau pasokan kayu itu tidak beres sampai sekarang, ya salah satu solusi ditangguhkan. Jika pasokan kayu terganggu akibat kebakaran parah, maka opsinya ditangguhkan untuk operasionalnya," kata Direktur Hutan Kita Institute Aidil Fitri, Jumat (12/2/2016).
Hal tersebut disampaikannya sebagai mewakili kelompok koalisi lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumsel, Pilar Nusantara, BH Palembang, Jaringan Masyarakat Gambut Sumsel, FKMPH, LSM BAKAU dan Rimba Institute.
Dia mengklaim, dari data pihaknya bersama kelompok koalisi lingkungan hidup mengungkapkan lahan milik vendor APP pada tahun 2015 yang terbakar mencapai 293.065 hektare.
Luas kawasan itu merupakan 37 persen dari total kawasan vendor APP di Sumsel. Dari total wilayah kebakaran, sekitar 86.004 hektare merupakan lahan perkebunan dan 25 persen di antaranya merupakan wilayah konsesi APP di provinsi tersebut.
"Analisa baru ini memunculkan pertanyaan mengenai dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap pembangunan pabrik pulp (bubur kertas) dan kertas APP yang digadang-gadang terbesar di kawasan Asia Tenggara," katanya.
Presiden Joko Widodo bulan lalu memerintahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mengambil alih lahan gambut yang terbakar dan tidak menerbitkan izin penggunaan lahan baru. Jokowi meminta Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk siapkan rencana aksi.
"Dalam surat edaran menteri itu, memang lahan gambut terbakar tahun lalu jangan dikelola dulu. Ini termasuk wilayah gambut APP sekitar 37 persen dari 293.065 hektare lahan terbakar tahun lalu," ucap Aidil.
Sekretaris Jaringan Masyarakat Gambut Sumsel, Dartok menyatakan kekhawatiran pasokan kayu untuk beroperasi pabrik baru tersebut yang diperkirakan akan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat.
Koalisi lingkungan mengeluarkan permintaan resmi kepada APP terkait kejelasan mengenai verifikasi dan rehabilitasi lahan terbakar dan mega proyek pembangunan pabrik kertas terbaru itu.
"Kami minta pemerintah Indonesia untuk melakukan audit lingkungan, meninjau ulang perizinan, dan penegakan hukum bagi vendor-vendor APP yang terbukti bersalah," tegasnya.
Sebab, lanjut dia, APP telah berulangkali mengumumkan kebijakan "zero deforestation" diterapkan secara internal dan wajib dipatuhi oleh seluruh vendor.
"Jika APP tak berhasil dapatkan pasokan kayu cukup di Sumsel, maka mungkin akan buka lahan wilayah lain di Sumatera, bahkan Kalimantan dan Papua," terangnya.
Chief Regional Officer OKI Pulp and Paper Mills, Eddy Mahmud tahun lalu menargetkan, pembangunan pabrik bubur kayu dan kertas berkapasitas dua juta ton per tahun rampung pada akhir tahun 2016.
Pihaknya mengklaim pabrik berkapasitas terbesar di dunia tersebut berlokasi di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel dengan proses pembangunannya telah dimulai sejak tahun 2013.
Selain memproduksi pulp, lanjut dia, pihaknya juga akan memproduksi kertas tisu dengan kapasitas produksi sekitar 500.000 per tahun dengan berorientasi ekspor.
"Untuk pulp 80 persen dari total produksi diekspor, sedangkan sisanya pembuatan tisu sementara untuk produksi tisu sendiri 95 persen akan dipasarkan untuk ekspor," katanya.
Dengan total produksi pulp dan paper tersebut, ucap dia, maka perusahaan memperkirakan nilai ekspor bisa mencapai USD1,4 miliar per tahun atau setara Rp15,56 triliun.
Adapun terkait bahan baku untuk produksi, pihaknya telah menanam kayu sejak tahun 2004 dengan total realisasi luas tanam sekitar 300 ribu hektare dari areal konsensi seluas 580 ribu hektare.
"Tanaman kami sudah siap panen, justru pabriknya yang terlambat. Awalnya akan dibangun terpisah pada dua kabupaten, tetapi kami putuskan pabrik pengolahan dipusatkan di OKI," bebernya.
(Fakhri Rezy)