SURABAYA – Selama Januari 2016, tingkat okupansi hotel bintang empat mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur (Jatim) mencapai 70,43 persen. Ini merupakan okupansi tertinggi dibanding hotel berbintang lainnya.
Hotel bintang lima okupansinya sebesar 69,04 persen, diikuti bintang dua 56,48 persen, bintang satu 50,26 persen, dan bintang tiga 46,12 persen. Secara keseluruhan, tingkat okupansi hotel berbintang di Jatim selama Januari 2016 mencapai 58,14 persen atau turun 1,77 poin dibanding Desember 2015 yang mencapai 59,91 persen. Rata-rata lama menginap tamu asing selama Januari 2016 mencapai 3,79 hari, turun sebesar 1,72 poin dibanding Desember 2015 sebesar 5,51 hari.
Untuk tamu dalam negeri, rata-rata lama menginap selama Januari 2016 mencapai 1,76 hari atau turun 0,02 poin dibanding Desember 2015 sebanyak 1,78 hari. “Secara keseluruhan, lama menginap tamu pada Januari 2015 sebesar 1,82 hari turun 0,09 poin dibanding Desember 2015 mencapai 1,91 hari,” kata Kepala BPS Jatim Teguh Pramono.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim M Sholeh mengatakan, pertumbuhan hotel, terutama di Surabaya, sangat pesat. Pertumbuhan hotel ini didominasi hotel bujet atau bintang tiga. Jika hal ini terus dibiarkan tanpa campur tangan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya untuk pengendalian, bisnis hotel akan menjadi tidak sehat. “Memang harus dibatasi hotel bujet itu agar ada persaingan yang sehat. Sekarang hampir semua hotel menurunkan tarif untuk bisa meningkatkan okupansi,” katanya.
Sholeh mengungkapkan, di Jatim sejak 2012 hingga saat ini ada sebanyak 100 hotel baru. Sebagian besar dibangun di Surabaya. Rata-rata dibangun di pusat kota. Tak hanya menghentikan pembangunan hotel, khusus yang bujet, Pemkot juga harus membentuk zonasi hotel.
Artinya harus ada penyebaran pendirian hotel. “Saat ini sudah terjadi perang tarif antar hotel. Persaingan sekarang sudah tidak sehat. Maka, saya minta campur tangan Pemkot untuk mengatasi masalah ini,” pintanya.
(dhe)
(Rani Hardjanti)