Pembagian itu dilakukan berdasarkan tingkat likuiditasnya. Biasanya semakin banyak saham beredar sebuah perusahaan, maka akan semakin likuid pula sahamnya di transaksikan. Bukan itu saja, faktor kapitalisasi pasar serta reputasi perusahaan juga menjadi penentu untuk masuk dalam saham golongan tertentu.
Bursa Amerika Serikat, New York Stock Exchange memberi gambaran khusus tentang saham blue chip yang merupakan saham dari perusahaan dengan reputasi nasional untuk kualitas, kehandalan dan kemampuannya untuk beroperasi secara menguntungkan dalam situasi perekonomian yang baik ataupun buruk. Indeks yang merepresentasikan saham blue chip di AS adalah DJIA (Dow Jones Industrial Average) yang terdiri dari 30 saham yang merupakan pemimpin pada industri masing-masing.
Di BEI representasi saham-saham blue chip biasanya dapat dilihat pada konstituen LQ-45 atau yang diperdagangkan di papan utama seperti saham PT Astra International Tbk (ASII), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (BMRI), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), dan masih banyak lagi.
Jadi bisa disimpulkan, selain memiliki tingkat likuditas dan kapitalisasi pasar yang tinggi, saham kategori blue chip dinggap memiliki kinerja dan fundamental yang baik serta punya potensi pertumbuhan yang konsisten naik di masa datang. Apalagi sebagian besar merupakan pemimpin pasar di industrinya. Karena itu saham-saham blue chip biasanya menjadi pilihan bagi investor yang berorientasi jangka panjang.
Adapun untuk saham second liner dan third liner bursa AS tersebut tidak menyebut pengertiannya. Namun dapat diyakini saham yang masuk ketegori second liner dan third liner merupakan saham-saham dari perusahaan berkapitalisasi kecil (small cap) atau berorientasi growth investing. Saham ketegori ini dicatatkan di papan pengembangan BEI.