JAKARTA - Peso Filipina menjadi mata uang di kawasan Asia Tenggara yang memiliki kinerja yang paling buruk sepanjang 2016. Hal itu sebagai imbas rencana Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang ingin meningkatkan impor seperti kenaikan suku bunga AS memacu arus keluar modal.
Sepanjang 2016, mata uang peso tercatat turun 5,2% terhadap USD. Untuk tahun ini pelemahan peso diperkirakan akan terus berlanjut hingga 4,4%.
Tekanan terhadap mata uang peso tahun diperkirakan sebagai imbas dari pertumbuhan ekonomin yang lebih cepat dari 7% dan program pembangunan infrastruktur Filipina demi menampung arus logistik dari peningkatan impor.
"Ini situasi yang menantang untuk peso untuk beberapa tahun mendatang. Sektor domestik membutuhkan banyak impor baik barang konsumsi maupun peralatan," kata Ekonomi Dutch Lender, Joey Cuyegkeng.
Apalagi tahun ini kondisi perekonomian juga dihadapi ketidakpastian. Di mana Donald Trump memulai kariernya sebagai Presiden AS.
Apa lagi kebijakan Dueterte juga sangat berapi-api dengan memperkirakan lonjakan impor di 2017 mencapai 10%. Ditambah perkirakan arus masuk pengiriman uang milik Filipina yang mengendap di luar negeri meningkat 4%.
Hal itu membuat indeks saham acuan Filipina anjlok 16% dari posisi puncaknya pada pertengahan Juli 2016. Meskipun berbagai prospek untuk tahun ini meyakini ada perbaikan. Seperti Deutsche Asset Management dan Nomura Holdings Inc memprediksi rebound, sementara Morgan Stanley dan Credit Suisse Group AG melihat lebih banyak kerugian. (dng)
(Rani Hardjanti)