JAKARTA - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menggenjot pembangunan infrastrutkur seperti program listrik 35.000 megawatt (mw), pengembangan kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus, membuat pasar gas bumi di Indonesia menjadi menarik bagi investor.
Walau pasar gas bumi di Indonesia sangat menarik, investor masih menyikapi peluang tersebut dengan kehati-hatian. Pasalnya, dalam neraca gas bumi menunjukkan Indonesia akan mengalami defisit pasokan gas pada 2019.
"Neraca gas bumi kita menunjukan defisit bahkan sejak 2016, namun impor belum diperlukan. Hal ini dikarenakan asumsi defisit juga dipengaruhi oleh realisasi proyeksi demand yang ada. Neraca gas kita berbasis kontrak sedangkan realisasinya berada dibawahnya. Karena dipengaruhi dinamika perekonomian dan juga pembangunan demand," kata Group Head Marketing PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) Adi Munandir, di Jakarta, Senin (17/7/2017).
Apalagi menurut Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja menyatakan bahwa Indonesia belum membutuhkan impor gas di tahun 2019. Karena pasokan gas bumi masih mencukupi.
"Angka demand yang ada dianggap sebagai gambaran demand di masa depan tanpa melakukan apa-apa maka tidak akan tumbuh. Namun kalau kita perlakukan angka tersebut sebagai target, maka kita harus melakukan sesuatu utk merealisasikannya. Sehingga neraca gas menjadi alat kebijakan yang men-drive kebijakan mengenai pengembangan infrastruktur yang harus dibangun di waktu tertentu dan produksi gas yg harus dilakukan. Neraca gas menjadi driver dan pengelolaan kita demand driven," jelas Adi.