"Nah ini kita targetkan mereka bisa makan ikan. Paling tidak contohnya misalnya kalau santrinya 20.000 orang, kali satu minggu 4 kg, berarti kurang lebih 50 kg dalam setahun, sesuai dengan target kita. Nah itu kita harus sediakan berarti di satu pesantren yang siswanya 20.000 kurang lebih 80 ton ikan sepanjang tahun.
Dalam rangka persiapan untuk menghadapi kompetisi global, maka konsumsi ikan perlu ditinggalkan pada seluruh lapisan masyarakat. Tak hanya di kota besar, konsumsi ikan juga perlu ditingkatkan pada daerah perdesaan.
"Kalau pertumbuhan badan terganggu pasti otak juga terganggu. Padahal kita ingin membuat manusia-manusia Indonesia bisa berkompetisi global, tidak kalah dengan Filipina, tidak kalah dengan Singapura, ya kita mesti masukan asupan ikan yang cukup," ujarnya.
Menurut Susi terdapat beberapa daerah dengan tingkat konsumsi ikan yang cukup rendah. Beberapa di antaranya adalah Solo dan Yogyakarta. Diharapkan, masyarakat dapat memilih ikan sebagai lauk utama dibandingkan dengan daging yang lebih mahal.
"1 kg ikan lele atau gabus kan cuma Rp15.000 atau Rp20.000, 1 kg daging dapat 4 kg ikan. Kedua, daging ada kolesterolnya. Ketiga, menghabiskan devisa karena impor. Kebanyakan. Keempat, kalau kita tidak makan ikan ditenggelamkan," tukasnya.
(Fakhri Rezy)