Masih Ada Ruang 60 Basis Poin, Suku Bunga Kredit Diprediksi Turun di 2018

Koran SINDO, Jurnalis
Jum'at 06 Oktober 2017 11:37 WIB
Ilustrasi (Foto: Okezone)
Share :

JAKARTA – Suku bunga kredit perbankan pada 2018 diproyeksikan oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dapat lebih rendah dari tahun ini.

Net Interest Margin (NIM) rata-rata perbankan masih tinggi menjadi tumpuan pertumbuhan nasional karena penurunan reverse repo akan semakin sulit pada masa mendatang. Analis dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Martin Panggabean memproyeksikan ekspansi kredit perbankan pada 2018 bisa lebih tinggi.

Asumsinya pada 2017 pertumbuhan kredit 12,9%, maka tahun depan ada harapan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan suku bunga lebih rendah. Level NIM perbankan nasional 5,3% masih tinggi dibandingkan negara kawasan.

”BI sudah turunkan suku bunga acuannya 200 bps dan bank hanya merespons turun 140 bps. Jadi, masih ada ruang 60 bps. Pertumbuhan masa depan hanya akan bisa dicapai dengan penurunan suku bunga kredit bank,” ujar Martin dalam seminar Outlook 2018 oleh LPPI di Jakarta.

Dia mengatakan, kondisi persaingan perbankan saat ini membaik, tapi NIM terlalu tinggi sehingga tidak compatible dengan usaha mendorong ekonomi nasional. Secara rentabilitas dia melihat rerata tingkat efisiensi bank atau BOPO adalah 82,5%, tapi ternyata lebih dari 20% bank konvensional masih beroperasi dengan efisiensi yang rendah.

Sementara rerata permodalan atau CAR berada di level 20,32%. Walau tren CAR industri membaik, nyaris separuh bank masih beroperasi pada CAR di bawah rerata industri. ”Rerata kredit bermasalah atau NPL adalah 2, 28%. Kredit kualitas rendah adalah 8,77%.

Terdapat 45 bank dengan NPL di atas 2%. Berakhirnya POJK pelonggaran NPL pada Agustus 2017 berpotensi menaikkan angka kredit berkualitas rendah,” ujarnya. Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Damhuri Nasution mengatakan, memasuki tahun politik 2018 dan 2019, diperkirakan inflasi akan lebih terjaga bila dibandingkan dengan tahun politik sebelumnya.

Hal ini sejalan dengan laju inflasi yang sudah memasuki era terendah. Sebagai informasi, tahun depan Indonesia akan memasuki tahun politik, di mana akan dilakukan pemilihan kepada daerah (pilkada) secara serentak di 171 daerah dan pada 2019 akan ada pemilihan presiden (pilpres) sekaligus pemilihan legislatif (pileg).

Lebih stabilnya inflasi mendekati tahun politik ini, kata Damhuri, disebabkan sebagai bahan kampanye bagi para calon presiden. ”Tahun depan itu sudah mendekati tahun politik, saya pikir tidak ada naik-naikkan harga, bisa repot urusannya, jadi inflasi lebih terjaga,” ujarnya Damhuri.

Lebih lanjut dirinya mencontohkan, saat ini ada beberapa kebutuhan yang harganya urung dinaikkan sesuai rencana, salah satunya kenaikan listrik 450 VA. Rencananya, pemerintah akan menaikkan tarif listrik 450 VA secara bertahap, yaitu pada Juli, September, dan November.

Namun, semua rencana tersebut belum juga dilaksanakan demi menjaga daya beli masyarakat. Dengan berbagai kemungkinan, untuk 2018, dia memperkirakan inflasi akan terjaga di 2,5-3,5%. Tak hanya itu, mendekati tahun politik, sisi positif lainnya adalah masuknya arus modal yang lebih tinggi dibanding tahun-tahun reguler.

”Semakin dekat tahun Pilpres itu biasanya arus modal akan jor-joran. Ini akan berdampak positif bagi nilai tukar rupiah kita dan ekonomi nasional secara umumnya,” ucap Damhuri.

Sementara itu, untuk mendorong ekonomi lebih positif pada 2018, dirinya menyarankan kepada pemerintah untuk lebih efektif dalam membelanjakan modal dalam anggaran. ”Dengan latar belakang ini, maka perekonomian Indonesia pada 2018 bisa di kisaran 5,3- 5,4%,” tambahnya.

Sementara Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo menilai, negara-negara berkembang seperti Indonesia masih menarik bagi para investor untuk menempatkan modalnya, meski pada Desember 2017 ada kemungkinan kenaikan suku bunga acuan Bank Sen-tral AS The Fed.

”Interestdife-rensial antaranegara maju dan berkembang seperti Indonesia masih besar, artinya tetap menempatkan modal di negara berkembang itu masih atraktif,” ujar Dody. Dengan adanya kondisi tersebut, BI meyakini aliran modal asing yang masih masuk ke Indonesia itu akan berdampak positif bagi perekonomian domestik.

Terlebih, kondisi makroekonomi Indonesia juga dalam tren positif. ”Itu menjadikan kita cukup optimistis, secara fundamental tidak ada isu atau pelemahan,” ucap Dody.

Sementara terkait nilai tukar rupiah yang sempat mengalami pelemahan terhadap dolar AS pada beberapa hari terakhir, Dody melihat hal ini sifatnya sementara karena merupakan pengaruh dari kondisi eksternal, terutama kenaikan fed fund rate (FFR) yang sudah diantisipasi oleh pasar.

Karena dari sisi kejelasan Amerika sudah hampir mendekati pasti. Artinya, kalau kita mengacu ke FFR, maka menuju pada kenaikan satu kali lagi pada Desember, kemudian penurunan dari balance sheet fed akan terjadi di Oktober. Artinya, kalkulasi itu sudah dipastikan oleh pasar,” paparnya.

(Fakhri Rezy)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya