JAKARTA - Pemerintah mendorong penggunaan bioetanol sebagai alternatif pilihan bahan bakar terdepan. Namun, ada kendala lain karena harga jual bahan bakar berbasis etanol masih mahal ketimbang pertamax dan bahan bakar sejenisnya.
Anggota DEN Rinaldy Dalimi mengatakan, selama ini etanol digunakan pada bahan makanan dan selebihnya di ekspor. Jika ingin digunakan sebagai bahan bakar, maka fuel grade etanol harus ditingkatkan sampai 99,5%.
Peningkatan grade inilah yang menyebabkan biaya etanol menjadi mahal jika ingin dijadikan bahan campuran bahan bakar solar. Dia melanjutkan, pembahasan bioetanol memang belum detail meskipun ada rencana untuk melakukan swap dengan Thailand.
"Jadi Thailand kasih ke kita etanol, kita kasih ke Thailand biodiesel. Etanol Thailand yang sudah fuel grade," ujarnya di Gedung Heritage, Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (12/10/2017).
Baca Juga: Usul DEN: Penerapan Biodiesel 30% Ditunda hingga 2030
Dia melanjutkan, saat ini DEN tengah mendiskusikan rencana swap tersebut bersama Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian serta Kementerian ESDM. "Karena itu menguntungkan kita juga kalau itu bisa dilakukan," jelas dia.
Menurut Rinaldy, selain swap ada insentif dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sehingga etanol bisa dikemabangkan di dalam negeri. Dia khawatir jika nanti ada produsen yang ingin mengembangkan bioetanol, maka pengenaan pajaknya akan disamakan dengan etanol yang diperuntukan untuk makanan.
"Kalau etanol yang food grade kan seharusnya tidak sama dengan fuel grade pajak masuknya. Yang begini-begini kita diskusikan," ujarnya.
Baca Juga: Harga Bioetanol Lebih Mahal dari Pertamax, DEN Minta Insentif ke Sri Mulyani
Sekadar informasi, dalam sidang ke-23 Dewan Energi Nasional (DEN) penerapan bioetanol sebagai bahan bakar terbarukan masih dalam kajian. Meski demikian ada sejumlah cara yang akan dilakukan guna merealisasikan bioetanol ini.
(Martin Bagya Kertiyasa)