JAKARTA - PT Pertamina (Persero) menyebutkan dengan adanya program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu harga maka beban operasional perusahaan bisa membengkak hingga Rp3 triliun per tahunnya.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik di hadapan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Rapat Dengar Pendapat (RDP). Biaya itu akan terjadi apabila nantinya BBM satu harga yang merupakan nawa cita Presiden Joko Widodo sudah mencapai 150 titik.
"Biayanya akan mencapai Rp3 triliun pada waktu 150 titik itu beroperasi semua. Walaupun bertahap, jadi tiap tahun nambah sekitar 50(titik), nambah 50 lagi, nambah 50 lagi. Jadi nanti dia kalau sudah 150 titik, Rp3 triliun per tahun. Jadi kalau kita bicara dua tahun ya jadi Rp6 triliun. Kalau tiga tahun ya jadi Rp9 triliun," ujarnya di Gedung DPR RI, Senin (4/12/2017).
Elia menyebut, belum ada pembicaraan dengan pemerintah terkait dengan insentif yang akan diberikan kepada Pertamina dalam menjalan program BBM satu harga. "Sejauh ini belum ada pembicaraan bahwa itu dikompensasi," kata dia.
Baca juga: Pertamina Tambah Lembaga Penyalur BBM Satu Harga di Papua
Lebih detail Elia menjelaskan, pada tahun ini, dengan dimulainya BBM satu harga biaya operasional perseroan akan mencapai Rp280 miliar. Pada 2018, BMM satu harga sudah mencapai 104 titik, periode satu tahunnya Pertamina bakal mengalami peningkatan biaya operasional yang ditaksir hingga Rp1,3 triliun. Lalu di 2019 dapat menyentuh angka Rp2 triliun.
"Jadi, kalau kita lihat tiga tahun ke depan, ini dia nilainya akan mencapai hampir Rp3,8 triliun selama tiga tahun untuk yang 150 titik itu. Sesudah itu, tiap tahunnya dia rutin Rp3 triliun, karena dia sudah beroperasi 150 titik," jelas dia.
Baca juga: Tahun Depan, Ada 14 SPBU Satu Harga di Papua
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Ego Syahrial menjelaskan tingginya harga BBM di wilayah Papua dan wilayah timur Indonesia pada umumnya disebabkan belum tersedianya infrastruktur untuk mencapai wilayah tersebut. Pengiriman BBM pun dilakukan dengan menggunakan pesawat udara yang mengakibatkan tingginya biaya transportasi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Ego Syahrial menjelaskan tingginya harga BBM di wilayah Papua dan wilayah timur Indonesia pada umumnya disebabkan belum tersedianya infrastruktur untuk mencapai wilayah tersebut. Pengiriman BBM pun dilakukan dengan menggunakan pesawat udara yang mengakibatkan tingginya biaya transportasi.
Selanjutnya Kementerian ESDM menetapkan Permen No. 36/2016 tentang percepatan pemberlakuan satu harga jenis BBM tertentu dan jenis BBM khusus penugasan secara nasional. Dia juga menjelaskan bahwa pemerintah telah memberikan insentif kepada Pertamina dengan memberikan wilayah-wilayah kerja yang akan berakhir masa kontraknya dalam bentuk previlege ke Pertamina sebagai pengelola.
Kalau pertamina tidak berkenan, maka diberikan ke existing operator, atau yang ketiga, kerja sama antara pertamina dan existing operator. Dengan demikian akan mendekatkan Pertaminan dengan titik - titik wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang merupakan prioritas BBM satu harga.
"Jadi yang bisa saya sampaikan saat ini adalah, keberpihakan pemerintah terhadap pertamina adalah, seluruh wilayah kerja yang akan berakhir itu kita prioritaskan dulu kepada pertamina, dan tergantung kepada Pertamina itu," jelas dia.
Pada tahun 2016, telah beroperasi 9 lembaga penyalur BBM satu harga, yaitu 7 lembaga penyalur di Papua, 1 lembaga penyalur di Papua Barat, dan 1 lembaga penyalur di Kalimantan Utara.
Sehingga, total hingga 4 Desember tahun 2017 ini, lembaga penyalur yang telah beroperasi adalah sebanyak 34 lembaga penyalur, yang terdiri dari 32 penyalur dari Pertamina dan dua penyalur dari PT AKR.
Nantinya BBM 1 harga akan tersebar mulai dari Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat, Bali dan Riau.
(Martin Bagya Kertiyasa)