JAKARTA – Bank Indonesia (BI) menilai ekonomi domestik belum optimal dalam merespons pemulihan ekonomi global.
Hal tersebut ditandai masih terbatasnya peran konsumsi rumah tangga serta pemulihan ekspor yang belum merata. Selain itu, pertumbuhan kredit juga belum sepenuhnya pulih terlihat dari pertumbuhan kredit perbankan yang disalurkan pada November 2017 sebesar Rp4.635,0 triliun atau tumbuh 7,4% lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 8,1% dari Rp4.906,5 triliun.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan, belum optimalnya pembiayaan domestik yang menyebabkan ketergantungan terhadap luar negeri dalam pembiayaan pembangunan.
Baca Juga: JK Tak Khawatir Ada Kerusuhan di Tahun Politik, Ekonomi Diproyeksi Stabil
“Hal ini ditandai kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) oleh nonresiden yang semakin meningkat serta Debt to Service Ratio (DSR) atau rasio utang terhadap pendapatan yang tinggi,” ujar Mirza di Jakarta.
Dia mengatakan, Indonesia menghadapi tantangan struktural yang membatasi pertumbuhan ekonomi jangka menengah panjang. Terlebih, kondisi sumbangsih konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir juga cenderung menurun. “Ini tentu satu yang perlu disikapi. Ini sudah jadi perhatian. Karena Indonesia ke depan masih mengharapkan kontribusi konsumsi rumah tangga, maka perlu direspons,” ungkapnya.
Baca Juga: Ekonomi Tak Capai Target, JK: Jangan Kambinghitamkan Komoditas Lagi
Sementara itu, sektor keuangan juga memiliki tantangan struktural lantaran belum optimalnya sumber pembiayaan domestik untuk pembiayaan pembangunan. Meski demikian, BI tetap optimistis prospek perekonomian jangka menengah pada tahun 2022 bisa mencapai 5,8-6,2%.
“Kami mau pertumbuhan ekonomi Indonesia terus berkesinambungan kuat dan berimbang. Maka Indonesia harus terus melakukan reformasi struktural. Di infrastruktur, kalau pakai benchmark Korea yang 100%, pembangunan infrastruktur Indonesia sudah baik, yakni 72% dari benchmark,” kata Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo.
Ke depan, Bank Indonesia akan konsisten menempuh bauran kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, serta kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah untuk menjaga stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, konsumsi rumah tangga pada tahun 2018 bisa tumbuh di atas 5% karena stimulus fiskal, baik bansos, program padat karya, dan belanja infrastruktur.
Sementara pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan ada di range 5,1-5,2% dengan sektor prospektif pada bahan makanan (sembako), rokok, pakaian jadi, hotel restoran, dan jasa periklanan. Dia pun mengungkapkan, dampak pemilu diprediksi hanya sekitar 0,1-0,2% terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Sementara sektor lain yang jadi motor adalah ekspor,” kata Bhima. Adapun pertumbuhan ekspor, dia memprediksi akan berlanjut khususnya CPO dan batu bara. Selain itu, tren harga komoditas juga masih positif yang disebabkan faktor Arab Saudi, yakni meningkatnya ketegangan di Timur Tengah dan naiknya permintaan China.
Baca Juga: Kondisi Perekonomian Sehat, JK Heran Pertumbuhan Tak Secepat yang Diharapkan
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan, momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini diperkirakan terus membaik ditopang oleh perbaikan pertumbuhan konsumsi dan investasi. Namun demikian, di tengah pemulihan yang terjadi, perekonomian global masih menghadapi tantangan jangka pendek perlu diwaspadai antara lain dari global, yakni pengetatan kebijakan moneter di bank sentra negara maju, terutama kenaikan FFR dan pengurangan aset neraca keuangan The Fed seiring dengan penguatan ekonomi AS.
“Selain itu, tantangan global juga bisa datang dari sisi geopolitik berupa ketegangan di Semenanjung Korea,” ungkap dia saat dihubungi kemarin. Selain itu, kebijakan AS seperti reformasi pajak serta proteksionisme diperkirakan masih akan memengaruhi kondisi perekonomian global.
(Kunthi Fahmar Sandy)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)