JAKARTA – Uni Emirat Arab akhirnya menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) seiring dengan kemerosotan harga minyak mentah yang terjadi belakangan. Nantinya, kenaikan sebesar 5% dikenakan pada sebagian besar barang dan jasa.
Oleh karena itu, guna meningkatkan pendapatan karena jatuhnya harga minyak mentah sejak 2014, salah satu upayanya adalah dengan menaikkan PPN. Namun, mengancam akan memperlambat pertumbuhan ekonomi pada saat sedang lesu, UEA diperkirakan akan mengumpulkan sekitar USD3,3 miliar dari pajak.
Melansir Forbes, Arab Saudi berencana menghabiskan USD261 miliar pada tahun fiskal ini dan menjadi anggaran terbesar yang telah dibuat, karena pemerintah memperkirakan adanya peningkatan pendapatan dari PPN. Selain dari PPN pemerintah Arab Saudi menargetkan pemasukan dari diversifikasi ekonomi, kerajaan ini akan memperluas basis investasinya dan meningkatkan pendapatan non-minyak lainnya.
Arab Saudi, yang merupakan eksportir minyak terbesar di dunia dan memiliki ekonomi terbesar di wilayah Arab, telah membekukan proyek-proyek bangunan besar, mengurangi gaji menteri-menteri dan memberlakukan pembebasan upah pada pegawai negeri sipil untuk mengatasi defisit anggaran 2016 yang sebesar USD97 miliar.
Selain itu, mereka juga melakukan pemotongan subsidi bahan bakar dan utilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini dilakukan guna menyeimbangkan anggaran pada 2020.
Sebelumnya, IMF merekomendasikan negara-negara pengekspor minyak di Gulf untuk meningkatkan pajak mereka, sebagai satu cara untuk meningkatkan pendapatan dari sektor non-minyak. Selain itu, IMF merekomendasikan negara-negara penghasil minyak tersebut untuk memperkenalkan atau memperluas pajak atas keuntungan yang didapatkan melalui bisnis.
Direktur utama IMF Jihad Azour mengatakan bahwa PPN merupakan bagian dari reformasi pajak jangka panjang untuk membantu negara-negara Gulf mengurangi ketergantungan mereka terhadap pendapatan minyak.