JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan dengan Warga Negara Indonesia (WNI) di Selandia Baru. Pada pertemuan tersebut, Jokowi ditanya kenapa sering ke Papua.
“Bapak Presiden, apa yang menjadi motivasi Bapak sehingga begitu sering datang ke Papua?” Pertanyaan itu dilontarkan Fransiscus Orlando, salah satu Warga Negara Indonesia (WNI) asal Papua yang tingal di Selandia Baru saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan para WNI di Amopura Gathering, Museum Te Papa, Senin 19 Maret 2018.
Presiden yang hadir bersama Ibu Negara Iriana, menjawab bahwa sebagai seorang pemimpin, Jokowi ingin melihat secara langsung kondisi masyarakat dan infrastruktur di sana, tidak hanya dari laporan saja. Demikian seperti dilansir setkab, Jakarta, Selasa (20/3/2018).
Baca Juga: Investasi Meningkat, Oleh-Oleh Presiden Jokowi Pulang dari Selandia Baru
Menurutnya, Indonesia bagian timur terlalu lama dilupakan dan kurang diperhatikan. “Satu setengah bulan setelah dilantik, saya langsung terbang ke Papua. Sampai saat ini sudah tujuh kali saya datang ke Papua dan merupakan provinsi paling sering saya kunjungi. Padahal Jakarta ke Papua butuh 6 jam. Tapi ini wilayah NKRI yang harus diperhatikan,” ujarnya disertai tepuk tangan seluruh WNI yang hadir.
Presiden pun berbagi cerita dan pengalamannya ketika melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah tertinggal di Indonesia. Salah satunya saat ia berkunjung ke Kabupaten Nduga di Papua.
“Waktu itu oleh Panglima saya tidak diperbolehkan karena itu daerah paling rawan. Saya terbang ke sana naik heli karena memang dari Wamena saja ke Nduga butuh 4 hari 4 malam berjalan di tengah hutan. Di Kabupaten Nduga itu aspal satu meter saja tidak ada. Inilah yang membuat saya sedih sekali. Inilah motivasi saya. Agar infrastruktur dan SDM sama dengan provinsi-provinsi lainnya,” ujar Presiden.
Baca Juga: Jokowi Bahas Gender hingga Ekonomi di Selandia Baru
Selain Fransiscus Orlando, ada dua orang lain yang juga mengajukan pertanyaan kepada Presiden. Salah satunya adalah Reza Abdul Jabar, seorang petani sukses yang kini memiliki 800 hektar lahan pertanian di provinsi terbesar di Selandia Baru, dan sekitar 2.000 ekor sapi.
“Ada amanat dari diaspora Selandia Baru perihal bagaimana kami menghadapi generasi kedua dan ketiga yaitu anak-anak kami yang berkeinginan mempertahankan status WNI-nya. Kami sedikit cemas. Padahal di sini banyak yang mahir yang sangat sayang apabila mereka terganjal untuk kembali ke tanah lahirnya atau tanah ayah ibunya. Jadi kami mohonkan solusi dan fasilitasi untuk masalah ini,” katanya.