JAKARTA – Tingginya suku bunga kredit perbankan yang mencapai dua digit mendongkrak biaya produksi perusahaan sehingga akan menurunkan daya saing produk lokal di perdagangan internasional.
Pasalnya, tingginya suku bunga kredit membuat biaya pendanaan usaha juga meningkat. Pengamat ekonomi dari IPMI Jimmy Gani mengatakan, suku bunga kredit yang ada saat ini sudah relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
“Kenaikan suku bunga acuannya menjadi 5,25% dinilai belum terasa dampaknya terhadap sektor riil,” kata Jimmy dalam diskusi “Daya Tahan Perbankan di Era Suku Bunga Tinggi” di Jakarta.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, suku bunga kredit perbankan Indonesia berada di kisaran 11,25%-13,3% untuk korporasi dan 16%-23% untuk kredit mikro. Sementara rata-rata suku bunga kredit di Malaysia, Singapura, dan Thailand berada pada kisaran 3%-7%.
“Ini berarti selisih tingkat bunga kredit perbankan Indonesia atau net interest margin (NIM) mencapai empat kali lipat lebih besar jika dibandingkan negara-negara tetangga,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, di tengah suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang tinggi, perbankan diminta dapat melakukan efisiensi. Hal ini bertujuan agar kenaikan suku bunga acuan yang tinggi tersebut tidak langsung ditransmisikan ke suku bunga kredit perbankan, yang nantinya akan berdampak pada pertumbuhan kredit.
Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto menuturkan, perbankan nasional pernah bertahan dalam menghadapi krisis pada 1998. Saat itu bukan hanya kebijakan suku bunga, tetapi kondisi ekonomi yang tidak baik juga bisa ditahan dengan baik oleh bank-bank di Indonesia.
“Pada 1998 suku bunga 70%, inflasi 36% kita tetap survive. Kita pernah mengalami krisis besar dan kecil. Bankir-bankir yang masih bertahan sekarang bukti kuatnya daya tahan terhadap krisis,” ungkap dia. (Kunthi Fahmar Sandy)
(Dani Jumadil Akhir)