Data Baru BPS Jadi Langkah Awal Perbaikan Pasokan Pangan Nasional

Dani Jumadil Akhir, Jurnalis
Kamis 25 Oktober 2018 16:02 WIB
Ilustrasi: Foto Okezone
Share :

JAKARTA – Terbitnya data pangan baru Badan Pusat Statistik (BPS) hendaknya menjadi momentum untuk membuat kebijakan yang lebih baik dan menyejahterakan rakyat, termasuk petani.

“Data dari metode pengumpulan data yang baru ini mesti disyukuri. Setelah ini mestinya tidak perlu ada lagi pro kontra dan polemik terkait data produksi padi dan beras," ujar anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat Khudori dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (25/10/2018).

Seperti yang diketahui, Pemerintah melalui BPS telah merilis data produksi beras yang terbaru dan tentunya lebih valid dari metode sebelumnya dengan menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA).

Baca Juga: Presiden Jokowi: Data Beras Tidak Benar Sejak 1997

Metode tersebut mulai digunakan sejak Januari 2018 untuk memperbaiki data produksi padi. Hasilnya, berdasarkan rilis BPS, terkoreksi data pangan yakni luas baku sawah yang ber kurang dari 7,75 juta hektare tahun 2013 menjadi 7,1 juta hektare tahun 2018.

Sementara potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10,9 juta hektare, produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras dan konsumsi sebesar 29,50 juta ton. Dengan demikian, Indonesia mengalami surplus beras 2,85 juta ton selama 2018.

Baca Juga: Data Pangan BPS dengan Metode Baru Buktikan Indonesia Surplus Beras

Apresiasi mesti diberikan kepada pemerintahan saat ini yang legawa merilis data baru. Jika pemerintahan saat ini hanya memikirkan elektabilitas dan pencitraan, tentu ini tak perlu dirilis karena potensial menggerus elektabilitas.

“Tidak perlu ada yang merasa bersalah dan atau merasa sebagai pemenang setelah rilis data ini. Ini kesalahan kolektif, semacam dosa turunan. Kesalahan sudah berlangsung selama puluhan tahun, setidaknya sejak 1997," tambahnya.

 Baca Juga: Surplus 2,85 Juta Ton, Masyarakat Tak Perlu Takut Kekurangan Beras

Khudori berpendapat, jajaran Kementerian Pertanian (Kementan) dari pusat hingga daerah tidak perlu berkecil hati. Momentum ini mesti dijadikan langkah awal untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik, yang tidak semata-mata berorientasi pada peningkatan produksi, tapi juga menyejahterakan rakyat.

Berdasarkan data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) per September 2018 naik mencapai 103,17 atau 0,59 perses dibandingkan periode Agustus 2018. Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) I Ketut Kariyasa menjelaskan, kenaikan indeks harga yang diterima petani menunjukan peningkatan kesejahteraan petani di tanah air.

"Nilai Tukar Petani merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di Indonesia. Semakin tinggi NTP secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani," ujar Kariyasa.

Ketut menambahkan, deflasi yang disebabkan penurunan harga bahan makanan juga menunjukan hasil upaya meningkatkan produksi komoditas pangan. Menurutnya, patut disyukuri bahwa pembangunan pertanian di tanah air terus menunjukan hasilnya.

BPS juga mencatat pada September 2018 terjadi deflasi di perdesaan di Indonesia sebesar 0,59% yang disebabkan oleh kelompok bahan makanan cukup besar. Sementara indeks konsumsi rumah tangga lainnya naik.

Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, penurunan harga bahan makanan menjadi penyebab deflasi September 2018.

“Jenis bahan makanan yang mengalami penurunan harga di antaranya, daging ayam ras yang memberikan andil deflasi 0,13%. Kemudian penurunan harga bawang merah dan ikan segar yang masing-masing berikan andil 0,05 persen dan 0,04%," ujar Suharyanto.

Beberapa sayuran, cabai rawit, dan telur ayam juga turun. Kondisi ini menunjukkan kecukupan dan ketersediaan bahan pangan yang mencerminkan naiknya produksi

(Dani Jumadil Akhir)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya