JAKARTA - Dalam kurun tiga tahun terakhir, pembicaraan ekonomi digital kian booming. Hampir setiap hari masalah digital, disrupsi teknologi hingga revolusi industri 4.0 menjadi pembicaraan di seminar, talk show hingga kegiatan-kegiatan akademis.
Hampir semua pihak yang berkaitan menganggap bahwa era digital menjadi era bagi masyarakat dan ekonomi negara. Dunia saat ini sudah masuk era digital yang ditandai dengan membanjirnya platform platform baru dari platform bisnis, investasi hingga pendidikan.
Selain disambut dengan euforia, perkembangan industri digital ini juga disikapi dengan waswas. Alasannya revolusi yang berbasis digital tersebut secara langsung mengancam sejumlah pekerjaan akibat rontoknya berbagai perusahaan sebagai dampak otomatisasi dan digitalisasi. Jumlah pekerjaan terdampak sangat banyak. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) memperkirakan 75 juta pekerjaan hilang.
Baca Juga: Dominasi Investor Asing Hambat UMKM Lokal
Prediksi banyaknya pekerjaan yang terancam otomatisasi dan digitalisasi juga telah disampaikan Mckinsey Global Institute. Dalam studi terbarunya lembaga itu bahkan memperkirakan sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan pada 2030.
Sebelumnya, World Economic Forum September lalu merilis laporan bertajuk Future of Jobs Report 2018. Perusahaan seperti Google dan Apple telah mengubah bisnis musik hingga komunikasi, Amazon mengubah pasar ritel, dan Uber mengubah industri taksi.
Tak hanya itu, industri media massa pun tertatih-tatih mendapat gempuran dari perusahaan perusahaan itu. Menurut para pakar, dengan teknologi baru, perusahaan dapat meraup laba lebih besar. Namun tidak demikian dengan sebuah negara dan masyarakatnya.
Tengok saja ekspansi Google, Facebook, Amazon, dan Alibaba di negara-negara berkembang. Raksasa-raksasa teknologi ini berhasil untung besar. Pada 2017 lalu Google menjadi pembicaraan karena menolak diperiksa mengenai kewajiban membayar pajak.
Padahal, sebagaimana data dari Ditjen Pajak, Google terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tanah Abang Tiga dengan status penanaman modal asing (PMA) sejak 2011. Artinya Google wajib membayar pajak.
Bahkan pemerintah Indonesia sampai mengancam bakal membawa kasus pajak Google ke pertemuan internasional. Dengan opsi akan dibentuk forum khusus untuk menyatukan persepsi mengenai pajak perusahaan over the top (OTT). Google pun menyerah dan mau membayar pajak.
Kini ekspansi raksasa-raksasa teknologi itu semakin masif. Tak puas melahap kue iklan digital, kini mereka merambah ke segala aspek bisnis. Pada November 2018, Softbank Vision Fund memimpin pendanaan untuk Tokopedia sebesar USD1,1 miliar.
Pendanaan ini dipimpin SoftBank Vision Fund dan Alibaba Group dengan partisipasi Softbank Ventures Korea serta investorinvestor Tokopedia sebelumnya. Tak hanya Tokopedia, Gojek juga mendapat dana segar dari Alphabet, induk usaha Google, juga China Meituan-Dianping.