Lain halnya jika calon penumpang MRT/LRT berasal dari penumpang migrasi roda dua, bus umum, atau Transjakarta, tarif Rp6.000-10.000 akan terasa mahal. Indikator lain juga harus dilihat, apa sebenarnya tujuan mereka menggunakan MRT/LRT? Jika tujuannya adalah faktor keamanan, kenyamanan, dan cepatnya waktu tempuh, besaran tarif tidak terlalu sensitif. Tapi sebaliknya jika tujuan menggunakan MRT/LRT adalah masalah keterjangkauan tarif, besaran tarif akan sangat sensitif. Kedua, Pemprov DKI juga seharusnya punya data berapa persen sebenarnya alokasi anggaran warga Jakarta untuk biaya transportasinya dari total pengeluaran. Patut diduga, dari survei terdahulu, alokasi anggaran warga Jakarta untuk biaya transportasi lebih dari 25% dari total pengeluarannya.
Persentase ini sebenarnya sangat tidak wajar karena jauh melebihi batas best practices belanja transportasi di negara maju, yang kurang dari 10%. Seharusnya keberadaan MRT dan LRT bisa memangkas tingginya belanja transportasi warga Jakarta. Jika yang terjadi sebaliknya, MRT dan LRT hanya akan menjadi benalu bagi sektor transportasi di Jakarta. Kemudian, ketiga , sukses tidaknya MRT/LRT selain ditentukan besaran tarif, juga dipengaruhi manajemen trafik di sekitar rute yang dilewati MRT dan LRT. Jika tak ada manajemen trafik yang andal, MRT dan LRT kurang dilirik warga Jakarta.
Bagaimanapun menggunakan kendaraan pribadi akan lebih nyaman (untuk mobil). Untuk sepeda motor, tak akan ada moda transportasi yang bisa melawan efisiensi ekonomi sepeda motor. Semurah-murah tarif MRT dan LRT, tak akan semurah pengeluaran jika menggunakan sepeda motor. Pertanyaannya, beranikah Gubernur DKI melakukan pengendalian secara ketat terhadap pengguna kendaraan pribadi di sepanjang rute yang dilewati MRT dan LRT? Jika sebaliknya, Gubernur DKI ciut nyali, hal ini merupakan tengara kuat adanya lonceng kematian bagi MRT dan LRT. Kasus LRT Palembang dan/atau kereta bandara seharusnya menjadi pembelajaran yang paling konkret untuk menjaga keberlanjutan MRT dan LRT di Jakarta.
Harus diakui, keberadaan MRT dan LRT di Jakarta adalah wujud komitmen pemerintah untuk melakukan pembenahan manajemen transportasi di Jakarta. Hampir semua kota besar dunia memiliki MRT dan angkutan massal sejenis. Di London, Inggris, under ground (sebutan populer MRT di Inggris) telah eksis sejak 155 tahun yang silam. Tapi, ingat, fungsi utama MRT dan LRT bukan hanya sebagai sarana transportasi bagi warga Jakarta. Bukan sekadar mewujudkan adanya moda transportasi yang aman, nyaman, harga terjangkau, dan terintegrasi. Lebih dari itu, MRT dan LRT harus menjadi pemicu bagi warga Jakarta untuk meninggalkan penggunaan kendaraan pribadinya dan berpindah menjadi pengguna angkutan massal yang ada.
Fenomena ini sejatinya mulai terjadi dengan adanya kereta Commuter Line (KRL) yang makin eksis. Pun dengan keberadaan Transjakarta. Kita tunggu aksi nyata Pemprov DKI dan DPRD DKI untuk secara cepat dan akurat menetapkan tarif MRT dan LRT. Plus kita tunggu nyali Gubernur DKI untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi di sepanjang koridor yang dilewati MRT dan LRT. Tanpa ditopang dengan kedua instrumen kebijakan itu, jangan heran jika kelak kedua angkutan massal itu hanya akan menjadi besi tua saja.
(Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)