Menurutnya, pada tahun pemilu nilai rupiah tertekan pada 2004 dan 2014, sedangkan tahun 2009 rupiah menguat. Kalau cermati lebih dalam, tahun 2004 dan 2005 harga minyak naik tinggi sehingga memicu inflasi tinggi sampai 17% waktu itu. Apa yang terjadi tahun 2014, pada waktu itu The Fed menghentikan quantitative easing . Jadi dua faktor itu sangat menekan nilai tukar rupiah. “Tapi, sangat berbeda dengan saat ini. Kalau 2004 dan 2005 inflasi tinggi, sekarang inflasi sangat rendah, di bawah 3% dan 2014 The Fed mengetatkan moneter, sekarang justru sangat akomodatif, malah menghentikan pengetatan moneter.
Kondisinya sangat berbeda,” ujarnya. Dia juga tidak melihat korelasi jelas antara arus dana investor asing dengan pemilu, baik pada 2004, 2009, maupun 2014. Kalau dilihat di tiga pemilu sebelumnya, cenderung pasar saham malah naik pada tahun itu. Jika pemilu aman, pasar saham malah meningkat. Jadi sebetulnya dari pengalaman lalu, pemilu itu bukan suatu faktor yang ditakuti sehingga jangan takut untuk terus berinvestasi. Apalagi kita melihat dengan berhentinya pengetatan moneter oleh The Fed, terbuka ruang bagi Bank Indonesia menurunkan suku bunga. “Jadi sebaiknya jangan takut, jangan khawatir, teruslah berinvestasi sesuai tujuan investasi dan profil risiko masing-masing,” tuturnya.
(Hafid Fuad)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)