JAKARTA – Boikot Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno oleh Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menimbulkan dilematis. Di satu sisi tujuannya untuk memberikan traumatis dan sanksi, namun di sisi lain justru menguntungkan.
Baca Juga: Jokowi Larang Rombak Direksi BUMN dan Dirjen hingga Oktober 2019
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Hendrawan Supratikno mengatakan, awal dari Menteri Rini sebagai rekomendasi dari Pansus Pelindo II. Ketika itu, Kementerian BUMN dianggap menutupi transaksi besar yang meruikan negara.
“Ibu Rini (Menteri BUMN) kan diboikot untuk tidak bisa datang ke DPR. Itu rekomendasi Pansus Pelindo II yang melihat bahwa Kementerian BUMN menutupi transaksi besar yang berpotensi merugikan negara,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Hotel Sofyan, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Baca Juga: Pergantian Direksi BUMN Jangan karena Politis
Di saat ingin memberikan pelajaran kepada Menteri Rini, justru pemboikotan menguntungkan Menteri BUMN. Menteri Rini justru lebih leluasa membuat kebijakan tanpa perlu takut diawasi oleh DPR.
Selama ini, Rini selalu diwakilkan beberapa menteri lainya, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati atau Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
“Kehadiran malah menguntungkan Bu Rini. Karena Bu Rini bisa berkonsentrasi melihat kebijakan dari pengawasan Komisi VI. Ini dilematis,” ucapnya.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Rini adalah wacana penggabungan beberapa perusahaan BUMN alias Holding. Bahkan yang terbaru adalah wacana ingin menjadikan satu perusahaan BUMN seperti Temasek di Singapura.
“Justru malah memberikan kebijakan holdingnisasi. Sekarang menuju arah super holding. Ini apakah hanya pp atau atau punya cantelan undang-undang,” jelasnya.
(Feby Novalius)