Lebih jauh APNI menuturkan, saat ini mereka juga tak bisa menjual bijih nikel ke investor asing yang membangun smelter di dalam negeri, lantaran selisih harga yang sangat rendah dibanding ekspor. Sebagai gambaran, harga wet metric ton (WMT) free on board Tongkang (lokal) bijih nikel kadar Ni 1,7 persen sebesar USD15, sedangkan harga free on board vessel (expor) sebesar USD35. Jika dijual di market domestik, APNI mengaku rugi karena cost produksinya saja mencapai USD16,57 WMT, di luar biaya perizinan, pembangunan sarana, PPN dan lainnya.
"Selain itu para investor asing yang memiliki smelter di Indonesia menggunakan surveyor yang tidak ditetapkan oleh pemerintah, yaitu INTERTEK. Padahal dalam Permen ESDM No. 26 Tahun 2018, pemerintah tegas mengatur surveyor yang bisa digunakan antara lain Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Services, Anindya, dan SCC," terang Meidy.
Menanggapi lebih lanjut aduan APNI, Legislator Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini menjelaskan bahwa tugas pemerintah bersama DPR RI adalah mendistribusikan keadilan, baik itu keadilan sosial maupun ekonomi. Termasuk melindungi pengusaha nasional agar tetap bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
"Kita tidak anti terhadap investor asing. Namun, jangan karena kondisi tata kelola niaga yang tidak bagus, justru membuat pengusaha nasional gulung tikar. Karena itu perlu regulasi dan aturan main yang jelas dari pemerintah untuk memastikan hadirnya keadilan ekonomi. Agar investor dan pengusaha nasional bisa sama-sama diuntungkan. Jangan sampai kita memberi karpet merah terhadap investor asing dengan cara menyingkirkan pengusaha nasional," pungkas Bamsoet. (ADV)
(Risna Nur Rahayu)