NEW YORK - Harga minyak naik hingga 15% pada perdagangan Senin waktu setempat, dengan Brent mencatat lompatan terbesar lebih dari 30 tahun di tengah rekor volume perdagangan. Hal ini setelah serangan terhadap fasilitas minyak mentah Arab Saudi, memotong produksi minyak.
Serangan tersebut meningkatkan ketidakpastian di pasar yang relatif tenang dalam beberapa bulan terakhir. Namun sekarang pasar merasa kehilangan minyak mentah dari Arab Saudi, yang secara tradisional menjadi pemasok di dunia.
Baca Juga: Usai Serangan Houthi, Arab Saudi Upayakan Pulihkan Produksi Minyak
Indeks volatilitas pasar minyak pun mencapai level tertinggi sejak Desember 2018. Oleh karena itu, aktivitas perdagangan berharap harga yang lebih tinggi dalam beberapa bulan mendatang.
Minyak mentah Brent, patokan internasional, ditutup pada USD69,02 per barel, naik USD8,80. Kenaikan sebesar 14,6% menjadi persentase terbesar sejak 1988.
West Texas Intermediate (WTI) berjangka AS berakhir pada USD62,90 per barel, melonjak USD8,05. Kenaikan sebesar 14,7% menjadi persentase terbesar sejak Desember 2008.
"Serangan terhadap infrastruktur minyak Saudi datang sebagai kejutan. Saya pikir tabel tiba-tiba bergeser di jalan prospek pasokan dan menangkap banyak orang yang lengah," ujar Analis Pasar Energi St. Paul Tony Headrick, dilansir dari Reuters, Selasa, (17/9/2019).
Baca Juga: Dua Kilang Minyak Aramco Diserang Drone, Arab Pangkas Produksi Migas
Arab Saudi adalah eksportir minyak terbesar di dunia dengan kapasitas cadangan yang relatif besar. Negara tersebut juga menjadi pemasok terbesar terakhir selama beberapa dekade.
Namun, serangan akhir pekan terhadap fasilitas pemrosesan minyak mentah milik Saudi Aramco di Abqaiq dan Khura memangkas produksi hingga 5,7 juta barel per hari. Kemudian menimbulkan pertanyaan bagaimana kemampuan Aramco untuk mempertahankan ekspor minyaknya?
Dua sumber yang diberi pengarahan singkat tentang operasi Aramco mengatakan, pengembalian penuh ke produksi normal mungkin memakan waktu berbulan-bulan.
Sementara itu, para pejabat intelijen AS mengatakan, bukti menunjukkan bahwa Iran berada di belakang serangan itu. Hanya saja, Presiden Donald Trump tidak terburu-buru untuk merespons kejadian tersebut. Dia menunggu lebih banyak informasi untuk detail.
Indeks Volatilitas Minyak Mentah Chicago Board Options Exchange, ukuran premi opsi berdasarkan pergerakan di dana perdagangan pertukaran minyak AS, naik menjadi 77,17, level tertinggi sejak Desember tahun lalu.
(Feby Novalius)