JAKARTA - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin menyebut adanya inovasi keuangan digital dan realita penggunaan virtual currency dalam financial crime mempertinggi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme.
"Tidak jauh berbeda dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU), pelaku tindak pidana pendanaan terorisme juga memanfaatkan adanya inovasi keuangan digital. Seperti penghimpunan dana melalui crowd funding dan penggunaan virtual currency sebagai sumber kegiatan terorisme," ujar dia di Hotel Bidakara Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Baca Juga: RUU Pembatasan Uang Kartal Ditargetkan Rampung Tahun Depan
Menurut dia, pada 2020 PPATK secara konsisten akan melanjutkan program kerja yang telah dicanangkan. Seperti konsolidasi internal PPATK, dengan menyempurnakan Organisasi, Sumber Daya Manusia, Reformasi Birokrasi, mendukung arahan Presiden Jokowi untuk melakukan perampingan eselon.
"Serta peningkatan kompetensi dan pengetahuan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT) melalui Indonesia Financial Intelligence Institute (IFII)," ungkap dia.
Baca Juga: PPATK Incar Jadi Anggota Satgas Keuangan Anti-Pencucian Uang Dunia
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), menyebut adanya ancaman pencucian uang di luar negeri atau money laundering offshore. Di mana suatu tindak kejahatan dilakukan di Indonesia dan dialihkan ke luar Indonesia melalui sistem keuangan.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan secara makro, money laundering dapat mempersulit pengendalian moneter, mengurangi pendapat negara dan mempertinggi risiko negara (country risk). Di mana, dapat menciptakan instabilitas sistem keuangan dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Di sisi lain, perkembangan teknologi digital menyebabkan upaya pencucian uang semakin bervariasi, yang saat ini sudah memasuki era digital money laundering," ujar dia.
(Dani Jumadil Akhir)