JAKARTA - Pasar saham Amerika Serikat mengalami deja vu seperti tahun 2008. Kesamaan antara akhir 2008 denggan 2020 ini hanya meningkat setelah Presiden Donald Trump menolak negosiasi stimulus lebih lanjut antara Ketua DPR Nancy Pelosi dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin.
Dalam cuitannya, Trump mengaku menolak pengajuan anggaran sebesar USD2,4 Triliun atau sekitar Rp35.376 triliun (mengacu kurs Rp14.700 per USD). Namun Trump menawarkan anggaran bantuan sebesar USD1,6 triliun.
Baca juga: Secercah Harapan Stimulus, Wall Street Perkasa
"Nancy Pelosi meminta USD2,4 triliun atau sekitar Rp35.376 triliun untuk dana talangan yang dijalankan dengan buruk, kejahatan tinggi, Partai Demokrat, uang yang sama sekali tidak terkait dengan Covid-19. Kami membuat tawaran yang sangat murah hati sebesar USD1,6 triliun atau sekitar Rp23.584 triliun dan, seperti biasa, dia tidak bernegosiasi dengan itikad baik. Saya menolak (permintaan) mereka,” cuit Trump mengutip dari Business Insider, Kamis (8/10/2020).
Salah satu pendiri DataTrek Nicholas Colas mengatakan, namun selain itu, ada beberapa kesamaan lain antara akhir tahun ini dengan 2008. Pertama adalag ekonomi AS yang sedang goyah meskipun dengan alasan yang berbeda.
Baca juga: Jualan Online, Saham Levi's Melonjak 9%
Jika tahun 2008, melemahnya ekonomi AS disebabkan oleh krisis yang terjadi di sektor keuangan. Pada tahun ini, pelemahan ekonomi global disebabkan oleh pandemi virus corona (covid-19).
Selain itu, kini Amerika Serikat tengah bersiap menghadapi pemilihan Presiden. Selalu ada kemungkinan perubahan kekuasaan dari partai satu ke yang lainnya.
Dan jika kesepakatan stimulus sedikit demi sedikit tidak lolos Kongres sebelum pemilihan, maka stimulus fiskal tambahan kemungkinan akan ditunda sampai setelah pelantikan presiden berikutnya pada akhir Januari.