JAKARTA - Carut-marut bisnis perunggasan di Indonesia seakan tidak pernah selesai. Dugaan praktik kartel ayam ditengarai masih terus terjadi.
Praktek ini diduga dilakukan oleh korporasi (integrator) besar untuk membunuh pesaing pasar becek atau tradisional dengan menguasai pasar dari hulu ke hilir.
Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio mengatakan, selama ini kartel memaksa peternak rakyat pada pilihan yang sangat sulit, mati atau bergabung dalam program kemitraan korporasi.
Baca Juga: Stabilkan Harga, Kini Impor Ayam Diatur
“Ini pada akhirnya akan menciptakan pasar terkendali oleh beberapa korporasi oligopoli dan dalam jangka panjang konsumen pasti akan dirugikan,” ujar Alvino saat menyampaikan laporan dugaan praktik kartel harga DOC (Day Old Chicken) dan harga Sapronak (Sarana Produksi Ternak) di Kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) (22/03/21).
Alvino menilai, apabila praktik ini terus terjadi tidak akan ada lagi peternak rakyat. Semuanya dipaksa menjadi kaki tangan korporasi. Menurutnya, praktik tersebut sama saja seperti praktek VOC Hindia Belanda di Nusantara terhadap bisnis perunggasan.
Dugaan praktik kartel yang dimaksud tidak lagi bersepakat pada harga jual ayam (live bird) yang tinggi. Tetapi bersepakat di harga yang lebih rendah dengan target untuk membunuh persaingan di pasar becek.
“Maka KPPU jangan hanya melihat kartel sebatas perjanjian penetapan harga, tetapi harus lebih jauh melihatnya bahwa kartel perunggasan adalah agenda korporasi untuk menguasa pasar becek dan terjadinya kanibalisme peternakan," kata dia.
Ketua KPPU Kodrat Wibowo mengatakan, pihaknya akan mendalami laporan dari PPRN tentang adanya dugaan praktek kartel ayam yang dilakukan oleh para korporasi besar. Ia mengakui memang terdapat kemungkinan persoalan di hulu, yakni pasar pakan dan DOC yang tidak seimbang.
“Karena ini (DOC dan Sapronak) tergantung para integrator-integrator (korporasi besar),” kata Kodrat.
Baca Juga: Soal Harga Ayam, Keuntungan Pelaku Usaha Wajar Saja
Kodrat berpendapat, dalam UU Cipta Kerja, terdapat turunan PP No.7/2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang secara tegas mengatur bahwa korporasi tidak boleh mencari keuntungan sendiri atau kelompoknya. Tetapi harus bermitra dengan peternak mandiri yang tidak punya akses kuat terhadap DOC dan Sapronak.
“Pada konteks kemitraan memang belum terbukti ada unsur penguasaaan dan pengendalian. Tetapi praktek di lapangan namanya ada (pengusaha) besar dan kecil, yang kecil jadi objek eksploitasi,” ujar Kodrat.