JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai dampak yang ditimbulkan oleh rokok elektronik sama bahayanya dengan produk rokok konvensional.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan, pada batas tertentu sesungguhnya rokok elektronik lebih berbahaya dibandingkan dengan rokok konvensional. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus kejadian yang menimpa perokok elektronik.
”Seperti bisa meledak saat di mulut atau di kantong celana, sehingga gigi dan mulutnya rontok, dan atau kakinya harus diamputasi,” ujarnya di Jakarta, Selasa (8/6/2021).
Baca Juga: Siap-Siap, Tarif Cukai Vape Naik Lagi
Prevalensi merokok elektronik (electronic cigarrete) saat meningkat pesat. Riset kesehatan dasar (Riskesdas 2018) mencatat, pada 2016 hanya 1,2%, menjadi 10,9% pada 2018.
Hal ini membuat beban pemerintah dan masyarakat jadi berganda; belum beres mengurusi rokok konvensional sekarang digempur dengan rokok elektronik.
Berbeda dengan Indonesia, lanjut Tulus, di banyak negara seperti di Malaysia dan Singapura, rokok elektronik masuk kategori barang illegal dan dilarang penggunaannya.
”Sampai saat ini, rokok elektronik jadi salah satu produk yang belum diatur dalam regulasi manapun. Padahal di banyak negara telah dilarang total,” jelasnya.
Baca Juga: Sah, Cartridge Rokok Elektrik Kena Cukai
Menurut Tulus, saat ini angka prevalensi merokok pada anak mengalami peningkatan signifikan, dari 7,2% pada 2013 pada 2018 meningkat lebih tajam menjadi 9,1%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan target RPJMN 2019 sebesar 5,4%. Artinya, angka tersebut sudah melewati pagu pada RPJMN 2024 yaitu 8,7%.
Tingginya angka prevalensi merokok pada anak dan pesatnya kenaikan angka prevalensi merokok elektronik, harus menjadi faktor pendorong bagi pemerintah untuk melakukan segera revisi PP Nomor 109/2012. Apalagi, hingga kini Indonesia belum mempunyai regulasi yang mengatur pengendalian produk tembakau.