JAKARTA - Saat tinta merah tertoreh akibat tragedi G30S PKI di tahun 1965, kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Saat itu, Indonesia masih berada dalam kondisi hiperinflasi yang sudah terjadi sejak 1962.
Indonesia melakukan upaya pembebasan Irian Barat di tahun 1962. Hal tersebut menyebabkan harga kebutuhan pokok masyarakat jauh meroket.
Menurut sebuah tulisan bertajuk ‘Situasi dan Kondisi Nasional Sebelum Peristiwa 30 September 1965’, telur ayam saat itu bisa naik 2 kali lipat, yang tadinya seharga Rp400 per butir mejadi Rp800 per butir. Begitupun harga terigu dan beras yang turut meroket tajam. Kondisi ekonomi yang tidak stabil ini utamanya dirasakan oleh rakyat kalangan bawah.
Baca Juga: G30S PKI, Boediono Kisahkan Dahsyatnya Hiperinflasi: Masyarakat Tak Mau Pegang Uang
Kelangkaan juga menghampiri masyarakat yang ingin mendapatkan barang kebutuhan pokok, seperti minyak, garam dan sabun. Antrean panjang mengular saat dilakukan operasi pasar. Tekanan inflasinya sangat tinggi. Apalagi, kedudukan devisa Indonesia berada di posisi minus USD0,1 miliar yang berimbas pada sukarnya proses importasi barang.
Terlebih, pemerintah terkesan mengenyampingkan urusan ekonomi karena suhu politik sedang sangat memanas menjelang meletusnya peristiwa G30S/PKI. Inflasi pada 1965 hampir menyentuh angka 600%, sehingga, pemerintah harus melakukan pemotongan nilai uang
Baca Juga: G30S PKI, Begini Kondisi Kekacauan Ekonomi yang Terjadi
Sementara itu, sebuah buku produksi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berjudul ‘Sejarah Perekonomian Indonesia’memaparkan, tingkat inflasi yang tinggi itu bersamaan dengan anggaran belanja pemerintah yang defisit dan cadangan devisa negara terjun bebas.
Ketika jabatan presiden berpindah ke Soeharto, kondisi ekonomi Indonesia lambat laun membaik. Soeharto membuka keran investasi asing di penghujung 1968. Hingga akhirnya, Indonesia berhasil keluar dari gelembung krisis pada 1969.
(Dani Jumadil Akhir)