JAKARTA - Wakil Presiden Indonesia ke-11 Boediono yang juga mantan Menko Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia (BI) mengulas dahsyatnya hiperinflasi semasa peristiwa G30S PKI pada 1965.
Bagi masyarakat Indonesia, tanggal ini selalu identik dengan sejarah kelam tragedi Gerakan 30 September atau G30S PKI.
Dalam bukunya "Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah", Boediono menceritakan inflasi yang berubah menjadi hiperinflasi sejak 1961. Laju inflasi meningkat pesat hingga di kisaran 100%, bahkan lebih.
Baca Juga: G30S PKI, Kisah Krisis Ekonomi pada 1960 hingga 1966
Tak cuma gejala persentase, hiperinflasi juga ditandai dengan fenomena psikologis "hilangnya kepercayaan dalam memegang uang". Hal ini ditandai oleh sifat masyarakat yang selalu ingin membelanjakan uang yang mereka terima untuk menghindari kerugian nilai uang yang merosot cepat.
Gejala Kekurangan Likuiditas
Nilai riil uang beredar menurun sementara volume transaksi terus meningkat selama hiperinflasi pra hingga pasca G30S PKI. Ini membuat masyarakat merasakan gejala kekurangan likuiditas. Akibatnya, proses transaksi seret dan menghambat kegiatan ekonomi.
Dalam tabel, Boediono memaparkan persentase kenaikan uang beredar dan perbandingannya dengan harga. Mulai 1961, harga selalu lebih tinggi dibanding uang beredar.