Belum lagi keberpihakan kecaman Australia terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan China terhadap suku minoritas Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.
Demikian pula sikap keberpihkan Australia terhadap AS dalam konflik Laut China Selatan. Australia sendiri memang resah dengan hegemoni China di kawasan yang merupakan jalur perdagangan Australia ke negara-negara Asia lainnya.
China menyadari betul hal itu, sehingga tak menunggu waktu lama, langsung tancap gas menerapkan proteksi dengan menerapkan kebijakan antidumping terhadap komoditas ekspor Australia dengan memberlakukan tarif bea impor yang tidak masuk akal bagi mitranya tersebut.
Di tengah Australia yang kalang kabut karena kehilangan pasar strategisnya, China dengan entengnya mengalihkan impor batu-baranya dari negara lain, salah satunya dari Rusia, negara sekutu China yang merupakan kawan sehaluan sebagai negara berideologi komunis. Sinisnya lagi, China memberlakukan impor batubara terhadap semua negara tanpa batasan atau restriksi kecuali terhadap satu negara, yaitu Australia!
Bak kejatuhan durian runtuh, jumlah ekspor batubara Rusia mencapai 3,7 juta ton pada September yang baru lalu. Angka ini naik 28 persen dibanding Agustus sebelumnya dan naik 230 persen dibanding September tahun lalu. Selain mengambil posisi yang sebelumnya ditempati Australia, kebutuhan dalam negeri China memang sedang meningkat terhadap energi fosil tersebut seiring krisis energi yang mereka alami.
Demikian pula halnya dengan komoditas anggur, layaknya pasangan kekasih, China begitu cepat move on, seolah tanpa beban China melepaskan begitu saja ketergantungannya dari Australia yang masih dilanda broken heart. Hal itu ditunjukkan dengan langsung gercep membudidayakan anggur sebagai bahan utama wine di kawasan Provinsi Ningxia.