JAKARTA - Perang Rusia dengan Ukraina berdampak pada sektor keuangan Indonesia. Terlihat dari Rupiah di level Rp14.500. Jika kondisi konflik semakin meluas Rupiah pun bisa menyentuh level Rp15.000 per USD.
Menurut Ekonom Bhima Yudhistira, konflik Rusia-Ukraina menimbulkan destabilitas di kawasan dan tentunya akan merugikan prospek pemulihan dan stabilitas moneter yang ada di Indonesia karena bertepatan dengan tapering off dan kenaikan suku bunga yang terjadi di negara-negara maju.
Baca Juga: Perang Rusia vs Ukraina, RI Waspadai Pelemahan Rupiah hingga IHSG
Dalam momentum ini, pertama, pemerintah harus bisa melakukan intervensi dengan mengajak negara-negara yang sedang konflik, khususnya Rusia dan Amerika Serikat untuk duduk bersama dalam Forum G20 membahas resolusi konflik.
"Indonesia bisa menjadi penengah karena Indonesia tidak memiliki kepentingan langsung terhadap konflik yang ada di Ukraina, karena jika itu bisa dilakukan sebagai Presidensi G20, Indonesia akan dianggap sukses," ucap Bhima kepada MNC Portal di Jakarta, Minggu (27/2/2022).
Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina Bikin Dolar AS Mengamuk, Awas Rupiah Terancam
Yang kedua adalah menarik potensi investasi dari negara-negara yang berkonflik ke Indonesia. Seperti relokasi pabrik besi dan baja, kemudian beberapa pabrik elektronik maupun otomotif, spare part otomotif agar dilakukan pendekatan kepada para produsen yang memiliki basis produksi di Rusia maupun di Ukraina untuk segera beralih ke Indonesia.
"Disiapkan insentif khususnya, itu yang dalam jangka waktu dekat yang harus dilakukan oleh pemerintah," katanya.
Dia pun mengingatkan bahwa jika situasi ini terus berlanjut, hingga saat ini, efek kenaikan harga komoditas minyak mentahnya sudah tembus di atas USD 100 per barel. Hal ini akan meningkatkan inflasi dan membuat biaya logistik akan jauh lebih mahal, dan efeknya adalah harga kebutuhan pokok meningkat dan daya beli masyarakat semakin rendah.
Dia menyebutkan, subsidi energinya akan membengkak cukup signifikan, karena pada asumsi makro APBN, harga minyak hanya tercatat USD 63 per barel. Sehingga, selisih harga minyak yang ditetapkan dalam APBN maupun harga minyak mentah riil sudah terlalu jauh, maka imbasnya pasti akan ada pembengkakan subsidi energi yang signifikan.
"Oleh karena itu, pemerintah perlu didesak untuk segera melakukan perubahan APBN untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator khususnya nilai tukar rupiah dan inflasi, karena inflasinya bisa lebih tinggi dari perkiraan dan perlu dilakukan antisipasi seperti tambahan dana PEN yang sebagian mencakup stabilitas harga pangan dan stabilitas harga energi ke dalam komplemen anggaran PEN karena ini mengancam serius sekali pada stabilitas dan pemulihan ekonomi sepanjang 2022," terangnya.
Jadi, sambung Bhima, ketika pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5%, maka harus dipastikan stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat baik minyak goreng, kedelai, maupun komoditas lainnya, serta BBM dan LPG bisa terjaga harganya hingga akhir 2022.
(Feby Novalius)