Meski demikian, dirinya memang selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi mengenai proses pembuatan dan perakitan suatu benda sejak dulu. Itu semua tak lepas dari sosok sang kakek yang seorang insinyur mesin. “Saya amat terinspirasi olehnya,” ujar Vita.
Kegigihan Vita sebagai seorang insinyur, tepatnya engineer alias rekayasawan, sebagiannya terdorong oleh tantangan untuk meyakinkan dan membuktikan dirinya sebagai perempuan setara dengan laki-laki yang berprofesi sama– isu yang masih kental terasa dalam industri yang masih didominasi pria, seperti STEM (sains, teknologi, teknik dan matematika).
Kegigihan itu harus diiringi dengan rasa percaya diri yang tinggi, tuturnya, meski kepercayaan diri itu tak selalu hadir sesuai ekspektasi.
“Kepercayaan diri tidak muncul seketika. Yang utama dan penting, Anda harus mengkalibrasi diri lagi dan lagi seiring waktu untuk memastikan Anda percaya diri dan paham betul akan cakupan (tanggung jawab Anda) dan dengan siapa Anda berinteraksi,” ungkap Vita.
Terlepas dari tantangan itu, Vita menyadari bahwa kesetaraan gender semakin diperhatikan dalam lingkup pekerjaannya. Ia melihat kesempatan bagi rekayasawan perempuan semakin terbuka lebar.
“Urun daya dan selesaikan pekerjaan Anda dengan baik,” pesannya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)