JAKARTA – Proyek light rail transit (LRT) Jabodebek dinilai tidak efektif dan efisien sehingga kurang bermanfaat bagi masyarakat dan berpotensi merugikan keuangan negara. LRT Jabodebek tidak efektif karena salah fungsi dan penempatan.
"Jalur LRT itu dibangun menghubungkan antarkota layaknya fungsi kereta komuter atau KRL (kereta rel listrik), padahal kapasitas angkutnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan KRL," kata Tokoh Masyarakat Transportasi Bambang Haryo dalam keterangan tertulis, Selasa (7/6/2022).
"Tidak ada negara di dunia yang bangun LRT untuk angkutan antarkota, sebab moda ini umumnya dibangun di kawasan tertentu yang spesifik di dalam kota. Jaraknya lebih pendek dari MRT dan banyak pemberhentian atau stasiun. Membangun LRT untuk antarkota tidak akan efektif dan pasti mahal, seperti halnya yang ada di Indonesia, yaitu Lintasan LRT Jabodebek antar kota yang memiliki jarak 44.3 km," tambahnya.
Bambang Haryo memberikan contoh di Singapura terdapat tiga jalur LRT yang semuanya dibangun di dalam kawasan tertentu, yakni jalur Bukit Panjang 7,6 km di kawasan industri dan agrikultur, Sengkang 10,7 km di pusat permukiman, dan Panggol 10,3 km di new town dan wisata.
Sedangkan panjang jalur MRT di negara tersebut itu mencapai 216 km yang dilayani rangkaian gerbong lebih banyak dan lebih besar. Fungsi daripada MRT menjadi transportasi Hup (utama) didalam kota yang terkonektivitas (terangkai) dengan transportasi LRT dikawasan tertentu dalam kota.
Demikian juga diseluruh negara di dunia seperti itu, tidak seperti di Indonesia yang berlaku sebaliknya. LRT Jabodebek yang dibangun sejak 2015 itu menelan biaya hingga Rp32,5 triliun. Biaya ini bengkak Rp2,6 triliun dari target penyelesaian pada tahun 2019 sebesar Rp29,9 triliun padahal rencana awal hanya sekitar Rp23 triliun.