JAKARTA - Krisis ekonomi Sri Lanka menjadi peringatan dan pelajaran bagi Indonesia untuk menjaga ekonomi di tengah tekanan global, seperti kenaikan harga energi dan pangan.
Sri Lanka mengalami krisis ekonomi terburuk dalam sejarah yang menyebabkan negara tersebut bangkrut.
Namun, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih kuat secara struktur. Dari sisi ekonomi, Indonesia memiliki kualitas PDB dan struktur ekonomi yang kuat.
Diikuti penerimaan pajak negara yang berkelanjutan, utang terkendali serta industri manufaktur yang cukup baik.
"Misalnya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan isu-isu yang muncul di Sri Lanka adalah kondisi kita tahun 1998," katanya, dilansir dari BBC Indonesia, Kamis (14/7/2022).
Walau demikian, pemerintah tetap, "mewaspadai dinamika ekonomi global dan geopolitik."
Senada dengan Yustinus, Direktur eksekutif dari lembaga Center of Reform on Economics, CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kemungkinan Indonesia mengalami seperti Sri Lanka masih sangat jauh, jika dilihat dari berbagai indikator.
"Untuk resesi, saya rasa masih jauh, tapi yang mungkin terjadi peningkatan risiko berupa melambat atau tertahannya pertumbuhan ekonomi jika kondisi ini terus terjadi," katanya.
Indikator pertama adalah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi di Indonesia 4,35% (yoy) dan 3,19% (Januari-Juni 2022). Angka itu timpang secara drastis dengan inflasi di Sri Lanka yang sudah mencapai 50%, bahkan disebut berpotensi mencapai 80%.
"Kondisi inflasi Indonesia masih sangat moderat dibandingkan Sri Lanka," kata Faisal.
Baca Juga: Ini yang Harus Dilakukan Indonesia agar Tak seperti Nasib Sri Lanka
Indikator kedua adalah neraca perdagangan Indonesia yang surplus karena topangan komoditas yang harganya kini meningkat, yaitu batu bara dan kelapa sawit.
Dua komoditas yang kini sangat terdampak secara global adalah di bidang pangan dan energi.
"Kita net-importer minyak bumi, tapi kita net-exporter CPO sawit, minyak bumi, dan juga terbesar untuk batu bara. Jadi ini menolong Indonesia karena harga internasional tinggi," ujar Faisal.
Sebaliknya, Sri Lanka itu net-importer energi sehingga ketika mengalami peningkatan luar biasa harganya di internasional, mereka yang paling terpukul dibandingkan negara seperti indonesia."