JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyoroti fluktuasi pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) yang sangat dinamis dalam pengalokasian Dana Bagi Hasil (DBH) sawit. Tidak hanya untuk mendapatkan penerimaan, tetapi PE dan BK juga menjadi instrumen fiskal untuk tujuan lain.
"Seperti stabilisasi harga minyak goreng dalam negeri untuk menjaga dan memastikan pasok minyak goreng sendiri di dalam negeri, itu dilakukan langkah-langkah dimulai dari PE, BK, atau bahkan talangan ekspor," ujar Sri dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (11/4/2023).
Menurutnya, tarif PE dan BK sangat dinamis mengikuti perubahan harga yang luar biasa fluktuatif. PE dan BK juga dipengaruhi saat pemerintah melakukan tindakan-tindakan untuk menjaga kepentingan supply dan demand dalam negeri.
"Kalau kita lihat pada tahun 2016 hingga 2022, harga dari Crude Palm Oil (CPO) melonjak di 2022 pada saat terjadi perang, dan kemudian drop lagi. Tarif PE-nya mengalami penurunan pada November 2018 hingga November 2019 0%, BK juga 0%, dan naik pada saat harga sangat tinggi, lalu drop lagi pada saat melakukan stabilisasi supply demand pada Juli-November 2022," kata Sri.
Dengan demikian, penerimaan PE dan BK juga akan fluktuatif. Misal, pada 2015 sebesar Rp6,9 triliun, naik ke Rp14,4 triliun pada 2018, namun menurun drastis ke Rp0 pada 2019 karena tarif PE 0 sepanjang tahun.
"Makanya nanti kalau disebutkan ada minimum alokasi, walaupun nanti tidak ada penerimaan, berarti APBN harus menyediakan minimal Rp3 triliun saat penerimaannya itu Rp0 seperti yang terjadi di tahun 2019," ucap Sri.