JAKARTA - PT Freeport Indonesia merupakan salah satu perusahaan tambang berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia. Setelah 50 tahun lebih menguasai tambang emas di Papua, Freeport-McMoran Inc akhirnya menyetujui kesepakatan divestasi atas kepemilikan sahamnya di PT Freeport Indonesia.
Walau kesepakatan ini tidak berarti Indonesia kembali menguasai pertambangan Freeport seutuhnya. Setidaknya sebagian besar (51%) saham PT Freeport Indonesia akan menjadi milik PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum).
Menilik kembali ke pemerintahan di Orde Lama, awalnya Soekarno tidak pernah membiarkan investasi perusahaan asing masuk ke Indonesia.
Waktu berselang, ekonomi yang terguncang pasca pemerintahan Orde Baru, memicu Soeharto untuk segera melakukan stabilisasi ekonomi, salah satunya dengan cara membuka ruang investasi bagi perusahaan asing. Disitulah Freeport masuk dan akhirnya mendapat izin untuk menambang di Timika, Papua.
Saat itu belum genap dua bulan Soeharto resmi menjadi Presiden kedua Indonesia. Ekonomi Indonesia tidak keruan. Adanya peristiwa G30S dan huru-hara di sejumlah daerah setelah peralihan kekuasaan. Ditambah inflasi mencapai 600-700% yang menyebabkan kenaikan harga pkomoditas pangan. Bahkan pembangunan infrastruktur pun sempat terhenti.
Walau pada 1967 mendapat izin dari Pemerintah Indonesia. Freeport baru benar-benar mulai menambang emas dan tembaga di Papua sekitar tahun 1973.
Dalam kontraknya, terhitung sejak kegiatan komersialmya pertama dilakukan, Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar, selama 30 tahun.
Berikut perjalanan Freeport di Tambang Emas Papua
1. Fase KK1
Kontrak pertama dikenal sebagai Kontrak Karya (KK) 1, salah satu isinya berupa kuasa Pemerintah Indonesia dalam menerima sejumlah royalti dari hasil penjualan konsentrat tambang. Untuk tembaga, skemanya 1,5% dari penjualan (jika harga kurang dari 0,9 dolar AS/pound) hingga 3,5% dari penjualan (jika harga mencapai 1,1 dolar AS/pound). Sementara untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1% dari harga jual.
Hal tersebut yang kemudian dikomentari oleh Ratih dan Bambang bahwa Kontrak Karya tersebut merupakan generasi pertama pemanfaatan modal asing dizaman orde baru yang masih menguntungkan Investor, dalam bukunya Soetaryo Sigit: Membangun Pertambangan Untuk Kemakmuran Indonesia (2016:248)
Perlu diketahui, Freeport sampai saat ini memiliki 2 lokasi pertambangan. Ertsberg yang dikenal sebagai penghasil tembaga dan Grasberg sebagai penghasil emas. Sebelum tambang Grasberg ditemukan pada 1988, Ertsberg-lah yang pertama kali ditemukan pada 1936 dan dinamai sesuai karakteristiknya ‘Ertsberg’ yakni Gunung Tembaga, karena satu dan lain hal ekspedisi kembali dilakukan oleh Freeport pada 1963 untuk menemukan Ertsberg kembali. Sekalipun Ertsberg dikatakan hanya mengandung 3% tembaga, nyatanya di tahun pertama (1973) Freeport mulai beroperasi, lokasi tambang tersebut mampu mengirim 10.000 tembaga hasil pertamanya ke Jepang.
Di sisi lain, Grasberg (1988) merupakan lokasi tambang unik yang mengandung tembaga dan emas. Tiap harinya Grasberg bisa menghasilkan 5 juta pon tembaga dan 5.000 ons emas. Dengan perolehan terbanyak di dunia mencapai 3,5 juta ton ons pada 2001. Tak ayal, Grasberg tercatat sebagai salah satu tambang emas terbesar di dunia.
2. Fase KK2
Tidak lama berselang setelah penemuan Grasberg. Freeport membaharui kontrak lama (KK1) dengan Kontrak Karya II (KK2) untuk menjadikan masa kontraknya kembali selama 30 tahun. Mereka juga mendapat hak untuk melakukan perpanjangan s.d. 2 x 10 tahun.
Di masa ini Freeport membagi 1% penjualan perusahaan bagi pengembangan masyarakat lokal (dikelola institusi masyarakat dan CSR dari Freeport) dan menyelesaikan PT Smelting di Gresik Jawa Timur, fasilitas pemurnian penghasil katoda tembaga pertama di Indonesia.
3. Fase IUPK
Banyak konflik kepentingan berputar pada PT Freeport Indonesia. Ibarat dikerubungi semut. Semutnya tak lain ialah oknum-oknum yang ingin mendapat jatah perahan dari hasil tambang.
Dilansir dari Okezone (12/7/2023) Tertanggal 12 Juli 2018, titik tolak penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) tanah air akhirnya bisa dikatakan rampung—setidaknya di tambang Freeport. Pasalnya PT Inalum (milik Pemerintah Indonesia) berhasil mengakuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia, hasil divestasi sahamnya Freeport McMoran.
Ini bermula ketika Freeport tidak lagi bisa mengekspor konsentratnya secara bebas lantaran adanya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Mineral dan Batubara, yang mewajibkan perusahaan tambang mengubah izin Kontrak Karya II (KK2) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
IUPK merupakan perubahan bentuk dan perpanjangan usaha pertambangan Freeport sampai dengan 2041. 51,24% sahamnya dimiliki oleh pihak nasional Indonesia.
Aturan tersebut 'mengekang' Freeport. Mereka menginginkan aturan pajak dan royalti di IUPK bersifat naildown sebagaimana di KK2 yang lama, yakni besaran pajak dan royalti dibayarkan tetap dan tidak berubah hingga masa kontrak berakhir. Namun hal itu ditolak Pemerintah Indonesia.
Negosiasi demi negosiasi berjalan rumit dan sulit. Presiden Joko Widodo sendiri mengaku tidak mudah mengakuisisi saham Freeport. "Inilah 3,5 tahun yang kita usahakan sangat alot, jangan dipikir mudah, dan begitu sangat intens sekali dalam 1,5 tahun ini," ujarnya pada Kamis, 18 Juli 2018 lalu.
Dilansir dari Sindonews, setelah mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, kini tambang Ertsberg dan Grasberg tidak dieksploitasi lagi secara penuh. Hal itu dimaksudkan untuk memelihara dan memonitor kestabilan lereng.
"Grasberg merupakan tambang kedua yang dimiliki PTFI, selain Ertsberg. Di kedua titik kini penambangan tidak 100%, demi proses pemeliharaan dan monitoring kestabilan lereng," ungkap Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Kamis (1/9/2022).
Tambang Ertsberg & Grasberg milik PT Freeport Indonesisa memang berada di tanah air belahan timur Nusantara. Akan tetapi, tanpa jasa para geolog luar dan tim Ekspedisi Cartenz (1936) serta Ekspedisi Freeport (1963), boleh jadi divisi pertambangan Indonesia belum akan semaju seperti yang telah ada saat ini. Menjaga kedaulatan tanah air memang merupakan sikap seorang patriot, namun apresiasi terhadap segala bentuk bantuan juga perlu dijaga.
(Feby Novalius)