Dihadapkan pada persoalan itu, Kementerian Ketenagakerjaan sedang menyusun Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan tentang perlindungan tenaga kerja luar hubungan kerja pada layanan angkutan berbasis aplikasi.
Permen itu akan menjadi standar baku untuk menyusun perjanjian kerja atau kontrak antara platform dengan pengemudi atau kurir.
Afung nyaris tak pernah melepaskan pandangan dari telepon selulernya.
Walau sedang berbaring, duduk, atau sesekali berjalan mondar-mandir di pinggir trotoar, dia selalu saja menatap layar sebesar genggaman tangan itu.
Dia bercerita belum dapat satu pelanggan pun. Padahal sudah dari pagi mangkal di beberapa tempat.
"Sekarang orderan sedikit, makin susah. Kayak sekarang nih, belum dapat penumpang," keluh Afung saat ditemui di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat.
Sebetulnya ini bukan kali pertama Afung meratapi sepinya pesanan.
Situasi terburuk sudah pernah dilewati kala pandemi Covid-19 menyerang. Pada waktu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan, Pemprov DKI Jakarta melarang pengemudi ojek daring mengangkut penumpang.
Gara-gara kebijakan itu, kadang ia cuma bisa membawa pulang uang Rp50.0000 atau sebulan rata-rata Rp1 juta dari pelanggan yang memesan makanan.
Ketika situasinya sudah kembali normal, pendapatan dari hasil ngojek daring tak juga membaik.
"Kemarin cuma dapat satu penumpang," katanya sambil tertawa kecut.
Dia lantas memperlihatkan riwayat pesanan harian beserta total pendapatan bersih yang diterima dari Grab.
Pada 23 Mei 2023, dia hanya menerima satu pesanan mengantar penumpang ke daerah Pademangan Timur sebesar Rp10.800.
Kemudian 19 Mei 2023, ia mendapat dua pesanan mengantar penumpang ke SMP Negeri 248 Jakarta dan ke daerah Pademangan dengan mengantongi Rp52.100.
Pendapatan mingguannya juga tak berbeda jauh.
Sepanjang 27 Maret - 2 April, Afung menerima Rp49.900 dan pada tanggal 15 - 21 Mei, dia memperoleh Rp223.800.
Kalau rata-rata penghasilannya sehari Rp50.000, maka sebulan cuma dapat Rp1,5 juta.
Bagi pengemudi yang sudah delapan tahun menjadi driver ojol ini, penghasilan tersebut sangat tidak sepadan lantaran dia harus menanggung sendiri biaya perawatan motor, bensin, dan paket data internet.
"Saya bilang untuk driver tidak sepadan, karena mesti saya nanggung semua sendirian. Grab tidak pernah nanggung apa-apa," ucapnya ketus.
Kalau Afung setia pada satu aplikasi saja, Vicky mengaku pegang banyak aplikasi meski yang diseriusi dua Grab dan Maxim demi mengejar target.
Jika masih di sekitaran pusat kota Jakarta, bapak dua anak ini mengaktifkan Grab. Tapi kalau 'terlempar' ke daerah pinggiran Jakarta, dia mengandalkan Maxim yang tarifnya disebut jauh lebih murah ketimbang Grab dan Gojek.
Cara itu dia lakukan setelah mengamati beberapa penumpangnya yang rata-rata punya lebih dari dua aplikasi ojek daring demi mengincar ongkos harga miring.
(Taufik Fajar)