Bahkan dalam RPP itu, lanjutnya, ada menyinggung soal peningkatan tarif cukai yang seharusnya diatur oleh Kemenkeu, termasuk soal aturan CSR, dimana IHT dilarang untuk mempublikasi kegiatan CSR, sementara IHT punya kewajiban CSR, larangan menjual rokok ketengan, minimal kemasan 20 batang/bungkus.
"Klausul pengaturan tersebut sangat menakutkan bagi ekosistem pertembakauan terutama pasal tentang zat adiktif berupa tembakau. Hal ini seolah membuat tembakau sebagai barang terlarang," tegas Sulami Bahar.
Di lain sisi, kata Sulami Bahar, keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sudah sangat tepat dalam hal pengendalian, tetapi malah membuat RPP yang sangat merugikan industri dan pekerja IHT.
"Bahkan RPP yang saat ini sedang digodog Kemenkes banyak pasal yang tumpang tindih dengan regulasi kementerian bidang lain, seperti dengan Kemenkeu, Kemendag dan Kemenperin,” terang Sulami Bahar.
Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto mengatakan dalam RPP terkait pengaturan produk tembakau, sinergi antar kementerian dan lembaga adalah hal yang utama.
Menurut Nirwala, dalam pembahasan aturan pengendalian, ada 2 instrumen yang digunakan yaitu instrumen non-fiskal, dan fiskal. Untuk mengahasilkan peraturan yang tepat, diperlukan kolaborasi antar kementerian terkait.
"Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih,” kata Nirwala.
(Feby Novalius)