Arifin menegaskan bahwa dimasukkannya pasal terkait power wheeling dalam RUU EBT juga mekanismenya harus saling menguntungkan. Hal itu dikatakannya merespon pertanyaan apakah hal ini diterima oleh PLN atau tidak.
"Masa harus diganjel? gimana misalnya industri kamu barangnya itu dipajaki di negeri orang kalau mau ekspor? tidak laku kan? kalau gak laku, tutup, dia gak kerja. Nanti semuanya mekanisme harus saling menguntungkan," tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto juga mengatakan bahwa raker antara pihaknya dengan Kementerian ESDM akan membahas dua poin baru di dalam RUU EBT, yaitu pembentukan badan usaha khusus (BUK) EBT dan skema power wheeling.
"Yang di bawah ke raker dengan menteri hanya tiga pasal saja, yaitu pembentukan badan khusus atau pengeola EBT dan konsep power wheeling. Hal ini memerlukan keputusan selevel Kementerian dibahas melalui raker,” jelas Sugeng.
Sugeng juga mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya bersama Kementerian ESDM telah selesai membahas 574 daftar inventarisasi masalah (DIM) di dalam RUU EBT.
Lebih lanjut, Sugeng menjelaskan, dimasukkannya pasal terkait power wheeling ini lantaran pihaknya melihat permintaan listrik, khususnya dari energi baru terbarukan semakin tinggi.
Menurutnya, salah satu strategi yang tepat untuk memenuhi permintaan tersebut dengan menerapkan sistem power wheeling.
Sementara itu, terkait BUK EBT, lanjut Sugeng, nantinya akan sama seperti BUK di sektor minyak dan gas bumi, seperti SKK Migas.
"Di EBT apakah perlu nggak (BUK)? Kalau di nuklir kan jelas ketentuan internasional perlu NEPIO. Lantas, secara keseluruhan perlu nggak? Ada yang perlu ada yang tidak, itulah diputuskan di dalam raker,” terangnya.
Sugeng menjelaskan ditundanya raker pembahasan RUU EBEt, karena Menteri ESDM pergi ke Amerika mendampingi Presiden Joko Widodo, maka raker diundur pekan depan.
"Sebetulnya kalau nggak menteri mendampingi presiden ke Amerika hari kemarin mestinya rakernya tapi ditunda tanggal 20 nanti," tukas Sugeng.
(Zuhirna Wulan Dilla)