JAKARTA - Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi polemik karena gaji pekerja dipotong untuk iuran tersebut. Namun ada dua hal yang perlu dipertegas supaya persoalan Tapera tidak panjang lebar.
Pertama soal tabungan dan kedua cicilan KPR. Di mana Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur PUPR Herry Trisaputra Zuna mengakui ada konsep Tapera yang salah dipersepsikan.
"Konsepnya banyak keliru, itu (iuran Tapera) dipikir uang itu dipakai cicil (rumah), nggak. Dibuatkan dana tabungan tadi, kan tabungan orang iuran segitu banyak, uang yang dikumpulkan dimasukin ke investasi tadi," terang Herry.
Oleh karena itu, kepesertaan Tabungan Perumahan Rakyat mencakup pegawai swasta bukan untuk cicilan rumah.
Tapi mendapatkan subsidi bunga cicilan KPR yang berada di angka 5% flat.
Di mana tabungan yang dibayarkan peserta Tapera sektor swasta sebesar 3%, akan diakumulasikan selama setahun. Jika peserta dinilai memenuhi syarat, maka baru bisa memanfaatkan Tapera untuk membeli rumah melalui skema KPR atau KBR dengan bunga flat 5%.
Dengan adanya bunga sebesar 5% ini, diharapkan meringankan masyarakat yang belum memiliki rumah untuk mencicil. Sebab punya bunga yang jauh lebih rendah dari bunga bank konvensional sebesar 11%.
Sedangkan untuk para pekerja yang sudah memiliki rumah, nantinya uang iuran yang sudah dibayarkan setiap bulan bisa diambil kembali ketika selesai masa kontrak atau kerjanya. Sebab konsep kepesertaan Tapera ini semacam tabungan yang bisa diambil pada waktunya.
"Dari pemupukan ini dipakai untuk pakai KPR dengan bunga 5%, yang nabung mah nabung aja nanti di ujung kembali uangnya," sambungnya.
Jadi konsep ini dibuat mengejar kesenjangan masyarakat yang belum memiliki rumah yang disebabkan oleh mahalnya harga hunian saat ini. Di satu sisi pertumbuhan 700 ribu keluarga baru setiap tahunnya yang membutuhkan hunian, sedangkan angka backlog kepemilikan rumah saat ini saja masih ada sekitar 10 juta keluarga yang belum memiliki tempat tinggal.
Menurutnya, dalam mengejar target Indonesia emas tahun 2045, paling tidak setiap tahunnya harus disediakan sekitar 1,5 - 2 juta rumah baru untuk mengentaskan angka backlog pada tahun tersebut.
"Memang programnya harus di scale up, ini prinsipnya. Agar jumlahnya banyak gimana? artinya bagaimana investasi dapat return sebesar-besarnya," pungkas Herry.
(Feby Novalius)