Perizinan di Indonesia dianggap tersebar dan tidak terkoordinir, tidak terstandarisasi, memerlukan rekomendasi dari berbagai kementerian/lembaga atau pemerintah daerah dan tidak terintegrasi secara elektronik. Akibatnya, perizinan menjadi rumit, lama, berbelit-belit, tidak pasti dan mahal.
Namun sejak diterapkan pada 2018, sistem OSS bermasalah karena kapasitas server dan bandwidth masih sangat terbatas padahal OSS harus menghubungkan puluhan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, kawasan ekonomi khusus maupun kawasan industri.Pada beban puncak, sistem OSS bisa tidak kuat dan akan down sehingga bisa menghambat pelayanan.
Selain itu pemahaman terhadap operasional Sistem OSS oleh unit di kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah juga masih rendah.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyebut OSS dibangun hanya dengan dana Rp30 miliar. Ia mengaku sudah mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp875 miliar pada 2023, tapi hal itu tidak terealisasi.
Dia sempat memberikan perumpamaan sistem layanan OSS ke depan hanya akan seperti fitur mobil Avanza yang kecepatannya terbatas, tak bisa seperti mobil Mercedes Benz.
Saat ini OSS Berbasis Risiko sebagai pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja telah menerbitkan 5.172.038 Nomor Induk Berusaha (NIB) sejak secara resmi oleh Presiden Joko Widodo pada 9 Agustus 2021.
Dalam catatan Kementerian Investasi, dari 5,17 juta NIB, komposisi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) mencapai sebanyak 5.112.994, usaha menengah sebanyak 20.973, dan usaha besar sebanyak 38.071 NIB.
(Feby Novalius)