JAKARTA - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi buka suara soal biaya demurrage (denda) beras Bulog yang merugikan negara hingga Rp350 miliar. Menurutnya hal lumrah dalam kegiatan ekspor impor.
Biaya demurrage dikenakan akibat tertahannya beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak,Surabaya.
Menurut Arief, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan tertahannya beras impor 490 ribu ton di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya hingga mengakibatkan demurrage. Menurutnya, itu sangat lumrah terjadi, sehingga bisa diperhitungkan secara business to business (B2B).
"Karena demurrage itu belum selesai hitungannya, mencakup ada shipping line, ada insurance, untuk ekspor impor itu hal yang biasa. Jadi pada saat orang mengekspor atau mengimpor, bisa karena hujan atau hal lainnya, jadi tidak bisa bongkar," kata Arief dikutip Jumat (21/6/2024).
"Demurrage itu hal yang biasa. Itu tinggal dilihat, apakah karena hujan, dia yang tadinya harusnya 6 hari, jadi bisa 7 atau 8 hari. Itu hal biasa dalam business to business seperti biasanya," sambungnya.
Ditegaskan Arief, posisi Bapanas adalah pihak yang menugaskan Bulog. Ia menyebut Bulog lah yang melakukan B2B, melakukan order, impor, serta melakukan distribusi sehingga menurutnya polemik ini murni persoalan impor.
Arief melanjutkan, total stok beras yang dikelola Bulog berada dalam posisi yang aman dan mencukupi. Dengan total saat ini 1,7 juta ton dan akan terus bertambah seiring penyerapan produksi dalam negeri. Ia pun meyakini seluruh program intervensi pemerintah bagi masyarakat dapat terlaksana dengan baik.