"Peningkatan jumlah aset finansial dunia yang diinvestasikan di luar negara asal juga diproyeksikan akan terus meningkat. Berangkat dari tren tersebut, saya melihat adanya kesempatan bagi Indonesia untuk menarik dana-dana dari family office global," katanya.
Kata Luhut, kantor keluarga di Indonesia dapat membuka peluang menarik investasi dari keluarga superkaya demi mengingkatkan peredaran modal dalam negeri. Bukan hanya itu, Luhut juga melihat potensi peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dan lapangan kerja dari investasi.
Selain itu, Luhut juga melihat kesempatan bagi Indonesia karena dua negara tetangga yang menjadi tuan rumah bagi orang superkaya yaitu Hongkong dan Singapura sedang menghadapi tantangan.
"Namun akhir-akhir ini, peningkatan kondisi geopolitik di Hongkong, serta perubahan regulasi investasi di Singapura meningkatkan risiko dan ketidakpastian investor."
"Inilah yang membuat Indonesia bisa mengambil kesempatan untuk menjadi alternatif dengan membentuk Wealth Management Centre, karena kondisi pertumbuhan ekonomi kita cukup kuat, kondisi politik pun juga stabil, serta orientasi geopolitik kita yang netral," katanya.
Apa yang dipersiapkan pemerintah Indonesia?
Masih berdasarkan keterangan Menteri Luhut, pemerintah akan membentuk satuan tugas (satgas) satu bulan ke depan.
Pemerintah akan merevisi kebijakan-kebijakan yang ia sebut "dalam era sekarang ini kurang kompetitif".
"Jadi kita akan melihat ease doing of business (kemudahan berusaha) kita, harus kita perbaiki. Tax incentive (insentif pajak) apa yang kita berikan. Financial system-nya (sistem finasial) apa yang harus kita adjust (sesuaikan). Legal framework-nya (kerangka hukum) bagaimana," kata Luhut.
Selain itu, ia mengatakan "kita menghindari pencucian uang", tanpa lebih merinci aturannya.
Pilihan kantor keluarga ini akan berada di Bali yaitu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-kura dan Sanur. Pilihan lainnya, ibu kota nusantara alias IKN di Kalimantan Timur.
"Ini sekarang sedang kita garaplah dengan cermat," kata Luhut.
Apa syarat agar orang-orang superkaya mau menggunakan kantor keluarga di Indonesia?
"Aman, kerahasiaan terjaga dan keuntungan tinggi," kata Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef).
Tapi persoalannya, baru-baru ini Pusat Data Nasional (PDN) diretas. Perlindungan data pribadi juga dipersoalkan. Hal ini berkaitan dengan syarat mengenai aman, dan kerahasiaan.
"Jika ingin membentuk family office maka harus masalah data protection harus segera diatasi," kata Eshter.
Lainnya, kata dia, perlu dipastikan investasi dari kantor keluarga dilarikan ke sektor riil seperti membangun pabrik, sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
"Kalau hanya menyimpan uang saja, saya rasa tidak berdampak luas dan rentan terjadi capital flight (modal ditarik keluar) ketika suku bunga turun," tambah Esther.
Untuk menarik orang superkaya berinvestasi melalui kantor keluarga, pemerintah juga disarankan Esther agar mengarahkan penanaman modal pada proyek-proyek strategis jangka panjang yang menguntungkan.
Ke mana saja kemungkinan harta orang superkaya ini diputar?
Meskipun tercatat memiliki kantor keluarga di Indonesia, tapi, "Tidak ada jaminan uang yang dikelola dari kantor keluarga diinvestasikan di Indonesia," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Padjajaran (Unpad), Profesor Arief Anshory Yusuf.
Orang superkaya mengendalikan penuh harta kekayaannya termasuk bagaimana itu diinvestasikan, "Dia mau investasikan di mana, ya terserah mereka," kata Arief.
Kedua, Arief menilai kantor keluarga kemungkinan akan lebih banyak bermain di sektor keuangan dan perbankan dibandingkan sektor riil.
"Dan sektor-sektor ini kan padat modal, bukan padat karya. Job creation (lapangan pekerjaan) seperti apa yang akan diciptakan oleh sektor finansial lagi," katanya bertanya-tanya.
Ada kemungkinan lain, harta kekayaan dari kantor keluarga ini hanya terparkir di bank. Tapi risikonya itu tadi: berpotensi membuat bank goyang ketika modal ditarik keluar secara tiba-tiba oleh pemiliknya.
Mengapa dikhawatirkan berisiko dengan praktik pencucian uang?
Baru-baru ini negara tetangga, Singapura diguncang skandal pencucian uang yang melibatkan enam kantor keluarga. Nilainya mencapai 2,2 miliar dolar AS atau hampir Rp36 triliun.
Sebanyak 10 tersangka dalam kasus ini adalah buronan di China sejak 2017 yang dituduh terlibat dalam judi online.
Kantor keluarga mereka disebut memperoleh insentif pajak dari Otoritas Moneter Singapura (OMS). Namun, insentif pajak tersebut baru dicabut dari tahun keuangan ketika pemilik dana kantor keluarga mulai dihukum. Artinya selama ini kantor mereka dapat insentif pajak dan segala kemudahan berusaha.
Setelah insiden ini, Pemerintah Singapura memperkenalkan undang undang baru untuk memperketat pengawasan aliran uang kotor.
Dalam satu pernyataan, otoritas Singapura mengakui sulit menemukan kasus-kasus mencurigakan di tengah lautan transaksi bernilai tinggi.
Singapura disebut sebagai Swiss-nya Asia. Lebih dari separuh kantor keluarga superkaya di Asia berada di Singapura, Menurut laporan raksasa konsultan KPMG dan konsultan kantor keluarga Agreus.
Pakar hukum tindak pidana pencucian uang, Paku Utama, menilai setidaknya terdapat tiga unsur yang menjadi kunci pencegahan pencucian uang dalam kantor keluarga.
Pertama, regulasi terkait dengan kerangka dan penegakan hukum.
Kedua, infrastruktur yang mendukung deteksi pencucian uang.
Terakhir, kompetensi terkait dengan respons dari manusianya.
“Indonesia, secara tiga konteks tadi, sama Singapura, menurut saya lebih advance (canggih) Singapura. Tapi Singapura saja kebobolan,” kata Paku Utama.
Selain itu, ia juga melihat Indonesia harus siap dalam kepastian hukum, stabilitas politik-ekonomi dan infrastruktur seperti keamanan perbankan dari serangan siber.
“Kalau tiga hal tadi kita nggak siap, [kantor keluarga] lebih banyak mudaratnya, dari pada manfaatnya,” katanya.
Ia khawatir jika ini dipaksakan, maka Indonesia berpotensi hanya dijadikan “stempel” bagi keluarga superkaya untuk mencuci uang kotor dari hasil usaha ilegal seperti penipuan, judi online hingga narkotika.
Ilustrasinya sederhana, kata Paku. Bagi keluarga superkaya yang memperoleh harta kekayaannya dari sumber tidak sah, dapat mendirikan perusahaan dengan memanipulasi keuntungan. Motifnya, agar uang tersebut nampak bersih karena berasal dari hasil usaha.
“Misalnya, saya buat perusahaan di Indonesia, terlepas ada apa enggak yang beli, setiap bulan, saya tulis revenue pemasukannya Rp10 miliar. Orang Indonesia senang nggak pemerintahnya? Senang dong, pajaknya kan duitnya masuk. Tapi bagi saya balik lagi, itu jadi stempel,” katanya.
“Kenapa? Dengan saya bisa declare (menyatakan) kalau saya revenue-nya Rp10 miliar, profit-nya misalnya 70%, profit-nya Rp7 miliar. Berarti kan uangnya jadi bersih ke saya. Padahal enggak ada transaksinya,” kata Paku.
(Dani Jumadil Akhir)