Sebelumnya, Pemerintah Pusat atau PP Muhammadiyah dikabarkan telah memutuskan untuk menerima izin usaha pertambangan atau IUP yang telah ditawarkan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024.
Merespon hal itu, Pengamat Energi dari Universita Gajah Mada (UGM) meragukan Muhammadiyah dapat mengelola tambang karena tidak memiliki pengalaman di sektor tersebut.
Fahmy juga menegaskan, aktivitas tambang apalagi untuk komoditas batubara saja sudah merusak dan mencemari lingkungan. Hal itu tidak sesuai dengan domain pemerintah
"Misalnya, ramah lingkungan, hampir semua tambang apalagi batubara itu sudah merusak dan mencemari lingkungan," jelasnya.
Apalagi menurut Fahmy sebagian besar pengusaha tambang batubara tidak melakukan reklamasi pasca tambang. Hal itu lantaran biaya reklamasi yang besar sekali, bahkan lebih besar dari pendapatan yang akan diperoleh.
"Maka kemudian mereka meninggalkan begitu saja bekas tambang tadi yang kemudian mencemari lingkungan dan membahayakan juga bagi masyarakat sekitar," tegas Fahmy.
Fahmy pun mempertanyakan apakah Muhamadiyah akan melakukan reklamasi pasca tambang yang memakan biaya tinggi tersebut atau tidak.
"Nah pertanyaannya apakah Muhammadiyah akan melakukan (reklamasi) dengan biaya yang sangat tinggi? Saya tidak yakin juga. Itu sebabnya saya katakan bahwa keputusan (Muhammadiyah menerima tawaran IUP) ini blunder dan lebih kental (unsur) politik daripada bisnis," pungkasnya.
(Taufik Fajar)