JAKARTA - Pemerintah menilai pandemi Covid-19 sebagai kambing hitam menurunnya masyarakat kelas menengah. Padahal persoalannya tidak sesederhana itu.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, banyak faktor yang membuat kelas menengah turun kelas. Bukan hanya pandemi Covid, tapi berkaitan juga dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang justru menakut-nakuti kelas menengah.
1. Harga-Harga
Mayoritas wacana kebijakan itu, katanya, berkaitan dengan harga-harga yang sebenarnya bisa dikontrol oleh pemerintah.
“Banyak sekali isu-isu yang akan menghantam daya beli kelas menengah. Kelas menengah ini kan rasional, kalau sudah tahu tahun depan tidak akan lebih baik dari tahun ini, mereka akan mengirit dan berhemat,” kata Eko, dikutip dari BBC Indonesia.
2. Pajak
Tarif pajak pertambahan nilai (PPN) misalnya, naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sebagai tindak lanjut terbitnya Undang-Undang No. 7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan.
3. Tapera
Pada Juni 2024, muncul pula peraturan pemerintah yang mewajibkan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Besar potongan yang akan ditanggung pekerja adalah 2,5% dan rencananya akan berlaku pada 2027.
Kemudian soal Tapera yang menuai kritik dan penolakan luas dari masyarakat. Walau pemerintah sempat menyatakan sepakat menunda implementasinya, hingga kini belum ada peraturan resmi yang benar-benar membatalkan kebijakan ini.
“Tapera itu wacananya saja yang menurun, tapi tidak ada perpres yang membatalkan legal standing-nya. Jadi, nanti 2027 akan berlaku,” kata Eko.
4. Asuransi Kendaraan Wajib
Belum selesai Tapera, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melempar wacana bahwa pemerintah akan mewajibkan asuransi kendaraan pihak ketiga (third party liability/TPL).
Wacana itu disebut sebagai tindak lanjut dari terbitnya UU No. 4/2023 tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan (P2SK), yang mengatakan pemerintah dapat membentuk program asuransi wajib sesuai dengan kebutuhan.
5. Pembatasan BBM Subsidi
Lalu ada rencana memperketat penyaluran subsidi BBM yang dianggap tidak tepat sasaran mulai 1 Oktober 2024. Kalau subsidi BBM diperketat, idealnya pemerintah mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi umum.
6. Tarif KRL Berbasis NIK
Namun, dalam kurun waktu berdekatan, para pengguna transportasi umum pun dibuat meradang karena rencana perubahan skema tarif kereta rel listrik (KRL) berbasis nomor induk kependudukan (NIK).
“Sudah sesak tambah dipalak,” begitu bunyi poster penolakan warganet terhadap kebijakan itu.
7. Potongan Gaji untuk Pensiun Tambahan
Kemudian pada pekan lalu, OJK kembali melempar wacana soal iuran dana pensiun tambahan wajib yang akan memotong upah pekerja.
Lagi-lagi, ini terkait UU P2SK yang menyebut “pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib”.
Eko mengatakan pemerintah semestinya bisa menunda kebijakan-kebijakan berupa pungutan itu untuk melindungi kelas menengah.
“Kalau tetap dipaksakan menggali dan mengais-ngais pendapatan dari kelas menengah, berbagai iuran tadi dipaksakan hanya karena sudah dinyatakan undang-undang tanpa melihat kondisi riil mereka yang daya belinya melemah, maka implikasinya mereka akan turun kelas,” kata Eko.
“Mending kalau masih menjadi aspiring middle class, kalau jadi miskin, itu mereka akan mendapat bansos. Jadi, Anda tekan di atas, dapat sedikit pungutan-pungutan tadi, Anda kena di bawah karena harus memberikan mereka santunan dan bantuan sosial," ujarnya.
(Feby Novalius)