SPECIAL REPORT: Fenomena Kelas Menengah RI Turun Kelas

Dani Jumadil Akhir, Jurnalis
Minggu 15 September 2024 07:41 WIB
Special Report: Fenomena kelas menengah RI turun kelas (Foto: Okezone)
Share :

JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia turun kelas menjadi kelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC) dalam lima tahun terakhir.

BPS mencatat pada 2019 masyarakat kelas menengah di Indonesia mencapai 57,33 juta, jumlah tersebut menurun dalam lima tahun terakhir hingga mencapai 47,85 juta orang pada 2024 atau berkurang 9,48 juta orang.

Jumlah warga kelas menengah menjadi 47,85 juta orang, kira-kira setara 17,13% dari total populasi. Padahal, proporsi kelas menengah diharapkan mencapai sekitar 70% dari total populasi pada 2045 demi menopang Indonesia Emas yaitu menjadi negara maju.

Targetnya, pada 2045 pendapatan per kapita Indonesia mencapai USD23.000 atau Rp354,5 juta per tahun. Saat ini tingkat pendapatan per kapita Indonesia masih jauh dari level tersebut, yaitu di kisaran USD5.500 atau Rp84,78 juta per tahun.

Sementara, saat ini rata-rata pengeluaran masyarakat per kapita per bulan dibagi dalam lima kelas. Mulai dari kelas miskin yang mencapai kurang lebih Rp582 ribu, rentan miskin mencapai Rp582 ribu-Rp874 ribu, calon kelas menengah Rp874 ribu-Rp2 juta, kelas menengah Rp2 juta-Rp9,9 juta dan kelas atas lebih dari Rp9,9 juta.

Calon kelas menengah adalah kelompok sosial ekonomi terbesar di Indonesia. Pada periode 2019-2024, jumlahnya bertambah 8,65 juta hingga menyentuh 137,5 juta orang atau setara 49,2% dari total populasi.

Kelompok terbesar kedua adalah kelompok rentan miskin, dengan pengeluaran Rp582.932 hingga Rp874.398 per bulan. Selama lima tahun terakhir, jumlah warga rentan miskin bertambah 12,72 juta orang. Per 2024, angkanya mencapai 67,69 juta, atau 24,23% dari total populasi.

Di saat jumlah warga calon kelas menengah dan rentan miskin terus bertambah, penduduk kelas menengah justru kian menyusut.

Sepanjang 2019-2024, warga kelas menengah berkurang 9,48 juta orang menjadi hanya 47,85 juta. Kini, proporsinya hanya 17,13% dari total populasi, turun dari 21,45% pada lima tahun silam.

Sementara warga miskin mencapai 25,22 juta orang dan kelas atas mencapai 1,07 juta orang.

Penyebab Kelas Menengah Turun Kelas

Dari hasil riset LPEM UI, tren penurunan jumlah kelas menengah telah terjadi sejak 2018 sebelum pandemi Covid-19 merebak dan memorak-porandakan ekonomi Indonesia. Ada berbagai faktor pemicu, salah satunya deindustrialisasi prematur.

Ini merujuk penurunan sektor pengolahan atau manufaktur di satu negara sebelum ia bisa menjadi negara maju.Penurun jumlah masyarakat kelas ekonomi menengah itu terjadi lantaran penurunan kinerja sektor manufaktur di tanah air.

Sementara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, lemahnya industri manufaktur menjadi faktor utama. Hampir sebagian besar kinerja manufaktur pada kuartal ke II/2024 mengalami tekanan, terutama padat karya.

Anjloknya kinerja industri manufaktur di dalam negeri membuat banyak perusahaan di bidang ini melakukan efisiensi dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Deindustrialisasi prematur atau menurunnya porsi industri terhadap PDB juga berimbas ke PHK massal,” ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia.

Kedua, tingginya suku bunga perbankan yang mempengaruhi cicilan rumah, kendaraan bermotor, dan kredit konsumsi lainnya. Saat ini, Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan BI Rate sebesar 6,25%. Ketiga, booming harga komoditas sudah lewat sehingga pekerja di sektor sawit, nikel dan batu bara tidak mengalami kenaikan pendapatan yang signifikan dibanding tahun 2021.

Keempat, kebijakan pajak pemerintah, khususnya penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11% dinilai ikut berkontribusi terhadap naiknya harga barang di tingkat ritel. Tren ini menunjukkan berkurangnya disposable income per kapita karena berbagai pungutan dan iuran, termasuk pajak yang agresif menyasar kelas menengah.

Kelima, belanja infrastruktur dan investasi kurang berkualitas sehingga serapan kerjanya kecil dibanding nominal uang yang dikeluarkan. Menurutnya, sejauh ini antara beban kenaikan biaya pangan, perumahan, pendidikan, suku bunga dan kesempatan kerja belum sebanding dengan insentif yang diberikan pemerintah ke kelas menengah.

“Bansos (bantuan sosial) yang naik tinggi saat pemilu kemarin juga hanya menyasar kelompok di bawah garis kemiskinan. Sementara insentif pajak yang diberikan saat pandemi kan sudah dicabut seperti PPH 21 karyawan DTP,” ujarnya.

“Kelas menengah bahkan harus menanggung kenaikan tarif PPN 11% yang membuat harga barang ritel naik,” lanjutnya.

Presiden Jokowi Buka Suara

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa penurunan jumlah populasi kelas ekonomi menengah di Indonesia yang terjadi dalam rentang waktu 2019 hingga 2024 juga melanda banyak negara di seluruh dunia.

"Itu problem yang terjadi hampir di semua negara, karena ekonomi global turun semuanya," kata Presiden Jokowi usai meresmikan Gedung Respirasi Kesehatan RS Persahabatan Jakarta Timur, Jumat 30 Agustus 2024.

Jokowi menyatakan bahwa fenomena tersebut adalah tantangan di banyak negara yang dipengaruhi oleh penurunan ekonomi global dan dampak pandemi Covid-19 yang berlangsung selama 2-3 tahun terakhir.

Dia menambahkan bahwa krisis tersebut telah menciptakan berbagai kesulitan ekonomi di banyak negara. "Semua negara saat ini berada pada kesulitan yang sama," katanya.

Kebijakan Pemerintah

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memandang peranan dan potensi kelas menengah untuk mendorong visi Indonesia Emas 2045 sangat besar. Oleh karena itu perlu perhatian khusus bagi kelas menengah agar lebih sejahtera.

"Kelas menengah punya peran strategis untuk mendorong perekonomian, oleh karena itu Pemerintah telah memberikan beberapa program untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok kelas menengah," kata Sri Mulyani, Jumat 30 Agustus 2024.

Menurut Sri Mulyani telah ada berbagai program dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan kelas menengah pertama melalui program perlinsos, pemberian subsidi dan kompensasi, insentif perpajakan seperti insentif PPN DTP untuk pembelian rumah. Kemudian Pemberian Bantuan luran kesehatan, Program Kredit Usaha Rakyat (KUR), hingga jaring pengaman seperti kartu prakerja sebagai jaminan kehilangan pekerjaan.

Sri Mulyani berharap insentif tersebut bisa membantu meningkat kesejahteraan kelas menengah. "Semoga berbagai program ini tak hanya membantu meningkatkan kesejahteraan kelompok menengah, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan," katanya.

Dilansir dari keterangan pers Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengatasi permasalahan kesejahteraan dengan berbagai kebijakan strategis.

Upaya tersebut meliputi penguatan sektor UMKM, peningkatan investasi dalam pendidikan dan kesehatan, serta reformasi ekonomi untuk menciptakan peluang yang lebih luas bagi masyarakat.

Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah berharap dapat merangsang pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Dampak Kelas Menengah Turun Kelas

Merosotnya jumlah kelas menengah di dalam negeri berisiko tinggi terhadap perlambatan konsumsi rumah tangga. Kondisi itu akan mengganggu pertumbuhan makro ekonomi nasional.

Saat ini, kelas menengah di Indonesia turun level menjadi kelas menengah bawah. Padahal, kelompok dalam hierarki sosial ekonomi itu punya peran besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Di saat biaya hidup terus meningkat, mereka kerap terpaksa makan tabungan atau menarik pinjaman online. Setiap kali gajian, Khansa merasa ia justru kian stres.

“Aduh, ini kok cuma segini,” begitu ia biasa membatin.

Khansa, 26 tahun, adalah penulis konten yang berdomisili di Yogyakarta. Gaji bulanannya di sebuah perusahaan media “ngepas” dengan upah minimum di Kota Yogyakarta sebesar Rp2,49 juta. Karena ada sejumlah potongan, termasuk untuk jaminan sosial, gaji bersihnya hanya Rp2,39 juta.

Setiap bulan, ibunya yang bekerja di Hong Kong sebagai pengasuh anak dan lansia juga mengirimkan Rp3,5 juta.

Maka, Khansa total menerima Rp5,89 juta per bulan, yang mesti ia kelola untuk kebutuhan hidup ayah, adik, dan dirinya sendiri di Yogyakarta. Ayahnya kini berusia 60 tahun dan tidak lagi bekerja, sementara adiknya masih berkuliah.

Sebagai perbandingan, rata-rata nilai konsumsi satu rumah tangga di Kota Yogyakarta menyentuh Rp7,02 juta per bulan, merujuk hasil Survei Biaya Hidup 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Pengeluaran bulanan keluarga Khansa ada di bawah rata-rata. Namun tetap saja, ia ngos-ngosan berusaha mencukupi segala keperluan.

Setidaknya Rp1,3 juta habis setiap bulannya untuk kebutuhan makan Khansa beserta adik dan ayahnya.

Sekitar Rp1,25 juta dikeluarkan untuk biaya bensin dan servis sepeda motor, pulsa dan paket internet ponsel, iuran BPJS Kesehatan keluarga, tagihan listrik, dan, tidak lupa, makanan tiga kucing Khansa.

Khansa pun menyisihkan Rp350.000 untuk uang saku adiknya serta Rp1,5 juta untuk uang kuliah tunggal (UKT) sang adik yang mesti dibayar tiap semester.

Di luar itu semua, Khansa menabung Rp1 juta untuk biaya pernikahannya serta Rp200.000 untuk dana darurat dan tabungan pensiun.

Ada pula pos jajan tiap bulan sebesar Rp300.000, yang digunakan misalnya untuk membeli produk kecantikan atau sesekali makan di restoran.

Setelah ditotal, kebutuhan rutin keluarga Khansa mencapai sekitar Rp5,9 juta per bulan, pas dengan jumlah gaji Khansa plus uang kiriman dari ibunya.

Karena itu, bila ada pengeluaran dadakan, misalnya saat ponsel bapaknya atau sepeda motornya rusak, Khansa terpaksa makan tabungan.

“Jadi memang bukannya bertambah, kadang (tabungan) malah makin berkurang karena ada kebutuhan-kebutuhan yang mendadak,” kata Khansa dilansir BBC Indonesia.

(Kurniasih Miftakhul Jannah)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya