"Yang penting harus mengurai hambatan-hambatannya. Tetapi saya yakin, dengan terobosan baru dari pemerintahan baru hambatan itu akan bisa dituntaskan,” ujar Satya.
Menurut dia, setelah mengurai dan menemukan solusi dari hambatan-hambatan tersebut, barulah membahas kemampuan produksi bioetanol.
Saat ini produksi maksimal bioetanol nasional baru sekitar 63.000 kiloliter atau rata-rata produksi bioethanol sekitar 40.000 kiloliter per tahun.
"Keterbatasan produksi memang jadi tantangan saat ini karena masih mengandalkan bahan baku berupa molase. Maka, diversifikasi bahan baku seperti batang kelapa sawit tua, sorgum manis atau mikroalga perlu digalakkan agar tidak kekurangan bahan baku jika bioethanol sudah diproduksi massal,” katanya.
Bahkan, untuk bioetanol dengan bauran 2 persen, menurut dia, tidak akan mampu memenuhi kebutuhan BBM masyarakat, sebab dengan bauran sebesar itu dibutuhkan 750.000 kiloliter bioethanol per tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, Satya mendorong pemerintah segera menyusun kebijakan yang komprehensif dan memastikan bahwa program bioethanol itu berjalan dengan baik.
Di antaranya, katanya lagi, pemberian insentif, penyusunan peta jalan, dan rencana aksi, termasuk target kebijakan penyediaan lahan, diversifikasi bahan baku dari kementerian/lembaga terkait.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)