Di sisi lain, status dirumahkan tidak menghentikan hubungan kerja. Karyawan yang dirumahkan tetap berstatus sebagai pekerja, namun biasanya tidak diharuskan bekerja sementara waktu. Kementerian Ketenagakerjaan melalui surat edaran telah mengatur bahwa merumahkan karyawan bisa menjadi salah satu opsi sebelum mengambil langkah PHK, dengan tujuan menjaga kelangsungan kerja dan usaha.
Langkah-langkah ini meliputi pengurangan shift kerja, pembatasan lembur, hingga merumahkan pekerja untuk sementara.
Hak Pekerja yang Dirumahkan
Berbeda dengan PHK yang diatur secara tegas dalam UU No. 13 Tahun 2003, hak pekerja yang dirumahkan tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Pasal 93 dalam UU tersebut menyebut bahwa upah tidak dibayar jika pekerja tidak bekerja, tetapi beberapa ketentuan mengharuskan perusahaan tetap membayar upah apabila pekerja sebenarnya siap bekerja tetapi tidak dipekerjakan.
Hal ini sering menjadi dasar tuntutan serikat pekerja agar perusahaan tetap membayar gaji penuh selama masa dirumahkan.
Namun, dalam praktiknya, banyak perusahaan melakukan pemotongan gaji saat merumahkan pekerja, bahkan menerapkan unpaid leave (cuti tidak dibayar). Pemotongan gaji ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang memungkinkan pemotongan upah dengan persetujuan pekerja atau sesuai perjanjian kerja.
Substansi Perlindungan Pekerja
Kemnaker menerbitkan Surat Edaran No. M/3/HK.04/III/2020 terkait COVID-19, yang mengatur bahwa perusahaan yang membatasi kegiatan karena kebijakan pandemi dapat melakukan pemotongan upah dengan kesepakatan pekerja. Ini membantu perusahaan tetap beroperasi sekaligus melindungi pekerja dari PHK massal.
Dengan memahami perbedaan PHK dan dirumahkan, pekerja dan pengusaha diharapkan dapat menentukan langkah terbaik dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan, khususnya dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
(Taufik Fajar)