“Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia, dengan ambang batas Rp4,8 miliar untuk pengusaha kecil sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), menunjukkan keberpihakan Pemerintah kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dibandingkan dengan Vietnam yang memiliki ambang batas jauh lebih rendah, yaitu Rp63 juta,” ujarnya saat diwawancarai secara eksklusif oleh iNews Media Group, Senin (23/12)
Ia menyebut, Indonesia membebaskan PPN untuk pengusaha kecil dengan omzet tahunan hingga Rp4,8 miliar, sehingga UMKM dapat mengalokasikan sumber daya untuk pengembangan usaha tanpa beban pajak langsung.
“Sementara, Vietnam menetapkan ambang batas yang sangat rendah, yang berpotensi membebani usaha kecil dengan kewajiban administratif dan fiskal lebih besar, meskipun tarif PPN standar Vietnam lebih rendah pada 10 persen (dikurangi sementara menjadi 8 persen hingga 2025),” tuturnya.
Dengan ambang batas tinggi, lanjutnya, Indonesia mengurangi beban administratif untuk usaha kecil dan fokus pada pengusaha yang memiliki kapasitas lebih besar untuk mematuhi kewajiban pajak. Sebaliknya, Vietnam dengan ambang batas rendah mungkin menghadapi tantangan dalam administrasi dan kepatuhan wajib pajak kecil.
“Sebagai perbandingan, Indonesia menerapkan tarif PPN standar 12 persen mulai 2025, dengan berbagai insentif seperti pembebasan PPN untuk barang kebutuhan pokok, sektor kesehatan, pendidikan, dan jasa transportasi. Vietnam menawarkan tarif PPN 5 persen untuk barang dan jasa esensial, memberikan manfaat langsung bagi konsumen pada kebutuhan dasar,” ucapnya.
Menurutnya, kebijakan Indonesia bertujuan menjaga daya saing UMKM, meningkatkan fiscal space, dan memastikan keberlanjutan fiskal melalui asas keadilan dan gotong royong. Sementara itu, pendekatan Vietnam lebih menyebar namun berisiko menekan usaha kecil akibat ambang batas yang rendah.