6. Penyebab PHK
Penurunan daya beli masyarakat hingga gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal menjadi tanda yang mencerminkan tekanan ekonomi yang nyata.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), jumlah tenaga kerja yang terkena PHK sepanjang tahun 2024 mencapai sekian ribu orang, tersebar di berbagai sektor seperti manufaktur, teknologi, dan perdagangan.
Fenomena ini dipengaruhi oleh ketidakstabilan ekonomi global, penurunan permintaan ekspor, hingga peningkatan biaya produksi dalam negeri.
Berdasarkan data yang dibagikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melalui platform Satu Data Ketenagakerjaan, tercatat sebanyak 64.288 tenaga kerja yang mengalami PHK hingga pertengahan November 2024. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah PHK terbanyak, mencapai 22,68% dari total nasional. Dengan jumlah tenaga kerja yang terkena PHK sebanyak 14.501 orang, Jakarta menghadapi tantangan besar, terutama di sektor industri dan jasa lainnya.
Peningkatan angka PHK ini menunjukkan adanya tekanan ekonomi yang memengaruhi sektor industri, perdagangan, dan jasa. Pemerintah diharapkan dapat memberikan perhatian khusus pada peningkatan keterampilan tenaga kerja dan membuka peluang kerja baru untuk mencegah dampak dari PHK yang terus meningkat.
7. Dampak ke daya beli
Korban PHK pun diprediksi tembus 70.000 pegawai pada akhir tahun 2024. Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI) Elly Rosita, menyebut sejak UU Cipta Kerja disahkan pada tahun 2020, belum ada pembukaan pabrik baru yang bisa menyerap ribuan tenaga kerja.
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada rumah tangga yang kehilangan pendapatan, tetapi juga memperlambat aktivitas ekonomi di sektor-sektor penunjang, seperti ritel dan konsumsi yang harus segera diatasi.
Mantan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Mandey menilai ekonomi Indonesia dihadapkan banyak tantangan. Mulai dari daya beli masyarakat yang terus melemah hingga tekanan deflasi berdampak besar pada sektor hilir dan pelaku usaha di Pulau Jawa.
"Sekarang, pelaku sektor hilir menahan ekspansi karena cashflow-nya babak belur. Kita sudah mengalami deflasi selama lima bulan terakhir yang menyebabkan banyak wilayah di Pulau Jawa mencatat pertumbuhan negatif. Untungnya, situasi ini sedikit terbantu oleh cabang-cabang usaha di luar Jawa," ungkapnya, Rabu (20/11/2024).
Pulau Jawa menjadi wilayah yang paling terdampak karena konsentrasi ekonomi nasional berpusat di sana.
"Hampir 60% produksi dan manufaktur kita ada di Jawa, begitu juga dengan populasi masyarakat. Ketika terjadi PHK, yang sudah mencapai 60 ribu orang saat ini, dampaknya paling terasa di Pulau Jawa," kata Roy.
Ia menambahkan bahwa tekanan ekonomi ini membuat kondisi pelaku usaha tidak stabil. Roy juga mengkritik kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dinilai dapat semakin menggerus daya beli masyarakat.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menetapkan kenaikan PPN menjadi 12% dan berlaku mulai Januari 2025. Kebijakan ini ditetapkan untuk sejumlah barang terutama barang mewah dan kelas premium.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)